Beranda Berita Nasional Bappenas dan WRI Indonesia Pastikan Integrasi Dekarbonisasi Industri Nikel

Bappenas dan WRI Indonesia Pastikan Integrasi Dekarbonisasi Industri Nikel

292
0
Peluncuran Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional yang dilakukan oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama World Resources Institute (WRI) Indonesia.
Peluncuran Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional yang dilakukan oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama World Resources Institute (WRI) Indonesia.

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Kementerian PPN/Bappenas bersama World Resources Institute (WRI) Indonesia meluncurkan “Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional”.  Kerja sama yang dilaksanakan sejak awal 2024 lalu ini melibatkan lebih dari 30 perusahaan pertambangan dan smelter nikel dari berbagai daerah di Sulawesi dan Maluku Utara, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi.

Dengan 60% produksi nikel dunia berasal dari Indonesia, strategi pengolahan bijih nikel di dalam negeri yang berkelanjutan dan rendah karbon dapat menjawab peluang dan ancaman dalam tata kelola hilirisasi nikel yang berkeadilan dan sejalan dengan visi pemerintah Indonesia. 

Dengan target pertumbuhan ekonomi 8%, peta jalan dekarbonisasi industri nikel akan memberikan arah strategis pembangunan industri nikel yang rendah karbon dan berdaya saing tinggi. Peta jalan ini menargetkan pengurangan emisi karbon industri nikel sebesar 81% pada tahun 2045, sejalan dengan RPJPN 2025–2045 dan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) sebelum 2060. 

Untuk mencapai target tersebut, peta jalan merumuskan empat strategi utama: 

(1) Efisiensi Energi dan Material, melalui teknologi dalam pemanfaatan sisa panas;

(2) Penggantian Bahan Bakar, dari batu bara menjadi biofuel dan LNG;

(3) Substitusi Material, melalui pembatasan kadar nikel dalam input bijih serta penggunaan reduktor berbasis biomassa; dan

(4) Penggunaan Listrik Rendah Karbon, melalui peralihan ke listrik yang bersumber dari energi terbarukan. 

Strategi penggunaan listrik rendah karbon menjadi prioritas, mengingat sumber emisi terbesar di industri nikel berasal dari PLTU. Dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang ada di wilayah penghasil dan pengolahan nikel, industri dapat memanfaatkan energi yang bersumber dari surya, angin, air, biomassa serta hidrogen hijau untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara.

Pembangunan rendah karbon berprinsip pada pendekatan pembangunan yang mempertimbangkan ulang perencanaan pembangunan dengan target emisi yang lebih rendah. Pada 2023, industri nikel di Indonesia berkontribusi terhadap 22% dari emisi sektor energi dan industrial process and product use (IPPU) nasional. 

Penggunaan pembangkit listrik berbasis fosil dan teknologi ekstraksi nikel di Indonesia yang cenderung menghasilkan emisi yang tinggi menyebabkan pemroresan nikel di Indonesia menghasilkan emisi GRK sekitar 7 hingga 10 kali lebih tinggi untuk setiap ton logam nikel murni yang diproduksi. 

Lewat analisis dari WRI Indonesia, dengan adanya peningkatan pengolahan biji nikel dalam negeri dan permintaan global, maka emisi karbon dari industri nikel bisa mencapai 86% lebih tinggi pada tahun 2045. Untuk itu, kita perlu membangun praktik berkelanjutan melalui dekarbonisasi proses produksi dan rantai pasok industri nikel.

Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Leonardo A.A.T. Sambodo, mengharapkan, implementasi dekarbonisasi industri nikel tidak hanya dapat mengurangi dampak negatif produksi nikel ke lingkungan sekitar namun juga mampu meningkatkan daya saing dan penerimaan produk nikel nasional di ragam pasar serta menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rendah karbon.

Sementara, Senior Manager for Climate WRI Indonesia, Egi Suarga, menekankan, dekarbonisasi Industri nikel adalah langkah awal dalam proses transformasi tatakelola untuk memanfaatkan potensi Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia, sehingga Indonesia dapat menjadi pemimpin global dalam menghasilkan nikel yang rendah karbon dan bertanggung jawab.

“Peta jalan ini juga memberikan rekomendasi kebijakan untuk membangun ekosistem yang mendukung implementasi strategi dekarbonisasi. Transisi menuju industri rendah karbon masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur energi, tingginya biaya energi dan material rendah karbon, serta ketidakpastian kebijakan,” ungkapnya.

Egi menambahkan, untuk mendukung transisi di sektor pembangkit, peta jalan merekomendasikan pembangunan 47,3 GW pembangkit energi terbarukan (PLTA, PLTB, dan PLTS) disertai ekspansi jaringan transmisi menuju kawasan industri nikel hingga tahun 2045. 

Khusus di Provinsi Maluku Utara, lanjut dia, yang memiliki keterbatasan potensi EBT, direkomendasikan penambahan 5,1 GW pembangkit berbasis hidrogen hijau. Selain itu, penyediaan infrastruktur distribusi LNG dan biomassa juga diperlukan untuk mendukung dekarbonisasi proses di smelter. 

“Untuk mengatasi tantangan harga, peta jalan mendorong penerapan kebijakan harga khusus bagi energi rendah karbon agar dapat bersaing dengan batu bara. Terakhir, untuk memperkuat landasan regulasi, peta jalan merekomendasikan adanya standar nikel hijau indonesia yang mengatur tingkat penggunaan energi bersih dan emisi GRK pada proses produksi nikel,” tutur Egi. (Lili Handayani)