
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Republik Indonesia, Arif Havas Oegroseno, S.H., L.L.M., menegaskan pentingnya posisi Indonesia dalam lanskap global mineral kritis saat memberikan sambutan dalam pembukaan Indonesia Critical Mineral Conference & Expo 2025 yang digelar di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Dalam pidatonya yang bertemakan “Negara Penghasil Mineral Bahan Baku Kritis: Peran Sentral Mineral Kritis dalam Strategi Ekonomi Nasional Indonesia” itu Menlu menyoroti pentingnya keadilan dalam pengelolaan sumber daya dan posisi strategis Indonesia dalam percaturan geopolitik global.
“Saya akan mulai dengan mineral kritis global, dengan permohonan energi bersih, permohonan transisi ekonomi. Mineral yang sebelumnya tidak terlihat kritis, ini sekarang menjadi aspek yang sangat penting bagi negara seperti Indonesia,” ujar Arif Havas.
Ia menekankan, permintaan global terhadap mineral kritis untuk mendukung energi bersih dan teknologi masa depan, seperti baterai kendaraan listrik dan panel surya, telah mendorong negara-negara produsen seperti Indonesia untuk mengambil posisi strategis dan tidak lagi hanya menjadi pemasok bahan mentah.
Arif Havas juga mengingatkan pentingnya kebijakan nasional yang menempatkan hak pengelolaan sumber daya alam di tangan negara produsen, bukan hanya pasar global. Ia menyinggung kembali sejarah penting keputusan Majelis Umum PBB tahun 1962 dan 1964 yang menegaskan kedaulatan negara berkembang atas sumber dayanya.
“Jika Anda ingat, pada tahun 1962, ada keputusan PBB yang menentukan hak negara berkembang atas sumber daya mereka. Tapi hari ini, kita melihat bahwa banyak proses dan nilai tambah terjadi di luar negara-negara tersebut. Kita butuh distribusi nilai yang lebih adil dan ekosistem yang seimbang,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan, pengalaman pribadinya selama tujuh tahun bertugas di Jerman sebagai wakil menteri perdagangan membentuk pemahamannya tentang kebutuhan Eropa terhadap teknologi berbasis mineral kritis. Ia mencatat adanya ketimpangan antara negara produsen dan negara konsumen dalam hal penciptaan nilai ekonomi.
“Ketika saya berada di Jerman, saya tahu benar bagaimana Eropa, khususnya Jerman, sangat membutuhkan teknologi baru yang bergantung pada mineral kritis. Namun, industri hilirnya selalu berada di luar negara produsen. Saya percaya bahwa industri mineral kritis seharusnya dikembangkan di negara tempat mineral itu berada,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan pandangannya bahwa dinamika geopolitik saat ini sangat dipengaruhi oleh teknologi dan kendali atas rantai pasok strategis. Menurutnya, hubungan antarnegara besar kini lebih kompleks daripada masa Perang Dingin, dengan teknologi menjadi elemen penting dalam strategi global.
“Hari ini, teknologi adalah bagian dari kompleks geopolitik. Contoh seperti kisah Huawei, Tiongkok, dan Kanada menunjukkan bahwa kendali atas teknologi seperti mikroskop dan semikonduktor kini menjadi bagian dari kekuatan global,” katanya.
Sebagai penutup, Arif Havas menekankan bahwa partisipasi Indonesia dalam forum seperti konferensi ini mencerminkan bentuk aktivisme global Indonesia dalam memperjuangkan keadilan dan kerja sama internasional.
Kami mendukung acara ini sebagai bagian dari aktivisme Indonesia dalam menciptakan kooperasi global di antara para pemain utama industri mineral kritis. Ini sangat penting bagi kehidupan kita dan dunia,” pungkasnya.
Konferensi ini menjadi wadah strategis bagi pemerintah, pelaku industri, dan mitra internasional untuk membangun pemahaman dan kolaborasi yang lebih kuat dalam pengelolaan mineral kritis—komponen utama dalam ekonomi masa depan berbasis energi bersih dan teknologi tinggi. (Shiddiq/Lili/Rus)