NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Pemerintah akan melakukan penyesuaian tarif royalti Komunitas Mineral dan Batu Bara guna memaksimalkan tata kelola pertambangan dan penerimaan negara.
Penyesuaian tersebut seiring dengan revisi dua peraturan yang saat ini berlaku. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan pemerintah akan melakukan penyesuaian tarif royalti Komunitas Mineral dan Batu Bara.
Tarif tersebut akan berlaku untuk enam komunitas mulai dari Batu Bara hingga Nikel. Penyesuaian tersebut seiring dengan revisi dua peraturan yang berlaku, yakni peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2022 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM.
Serta peraturan pemerintah nomor 15 tahun 2022 tentang pelakukan perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang usaha pertambangan batu bara.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyampaikan perubahan tarif royalti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2022 dapat semakin menekan pelaku usaha, terutama di tengah berbagai tantangan ekonomi dan regulasi yang sudah ada.
enaikan royalti ini akan semakin membebani industri yang saat ini sudah menghadapi biaya operasional tinggi akibat berbagai faktor, seperti kenaikan harga biosolar (B40), penerapan UMR minimum 6,5%, serta kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.
“Di awal tahun ini tentu saja sudah lihat, ya bahwa perusahaan pertambangan bukan hanya Nikel. Itu sudah diberikan kado-kado tahun baru yang luar biasa fantastis, baik dari PPN 12% berdampak karena alat berat kita termasuk barang mewah. Kemudian penggunaan biodiesel B40 yang tentu saja harganya luar biasa berbeda dengan harga sebelumnya atau biodiesel B30,” ujarnya, dalam IDX Live, di kutip nikel.co.id, Rabu (12/3/2025).
Selain itu, dirinya menyoroti risiko keuangan akibat penerapan Global Minimum Tax, terutama bagi smelter yang baru beroperasi dalam dua hingga tiga tahun terakhir dan masih bergantung pada fasilitas Tax Holiday.
Dirinya menjelaskan, ketergantungan industri nikel pada fluktuasi harga global juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan.
Saat ini, harga nikel cenderung mengalami penurunan, yang semakin meningkatkan risiko bagi keberlanjutan bisnis tambang dan pengolahan nikel di Indonesia.
Dari sisi daya saing investasi, Meidy membandingkan tarif royalti nikel Indonesia dengan negara lain. Di Indonesia, tarif royalti bijih nikel (ore) berkisar antara 14–19%, sementara produk olahan dikenakan 5–7%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Filipina (5–7% untuk ore, 2% untuk produk olahan), Australia (5–7,5% untuk ore, 2–5% untuk produk olahan), dan Brasil (2–5% untuk ore, 1–3% untuk produk olahan).
Ia menilai, jika tarif royalti dinaikkan tanpa mempertimbangkan berbagai faktor ini, maka daya saing Indonesia dalam menarik investasi di sektor hilirisasi nikel bisa terancam.
Untuk itu, dirinya berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini agar tidak menghambat pertumbuhan industri hilirisasi yang menjadi salah satu motor utama ekonomi Indonesia. (Lily Handayani)