Beranda Asosiasi Pertambangan IMI dan ARKO Adakan FGD: Revisi UU Minerba: Urgensi atau Ambisi?

IMI dan ARKO Adakan FGD: Revisi UU Minerba: Urgensi atau Ambisi?

2568
0
FGD Strategic Discussion oleh IMI dan ARKO Law, Westin Hotel Jakarta, (4/2/2025). foto bya: Shiddiq. Dok. MNI

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Revisi ke-4 Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (18/2/2025). Proses revisi yang berlangsung kurang dari sebulan ini dimulai pada 20 Januari 2025, dan menuai perhatian dari berbagai pihak terkait.

Pada kesempatan ini, DeHeng ARKO Law Offices (ARKO Law) bersama Indonesia Mining Institute (IMI) menggelar diskusi strategis bertajuk “Perubahan UU Minerba: Urgensi atau Ambisi?” pada Selasa (4/2/2025). Diskusi ini dihadiri oleh para stakeholder pertambangan, meliputi praktisi, asosiasi, perwakilan pemerintah, dan perguruan tinggi. Beberapa isu krusial menjadi sorotan utama, termasuk soal hak menguasai negara, dinamika regulasi, risiko tata kelola sumber daya alam, hingga pemberian prioritas kepada perguruan tinggi dan UMKM dalam izin pertambangan.

Penguasaan Negara dalam Pertambangan Pasal 33 UUD 1945 menekankan pentingnya penguasaan negara terhadap sumber daya alam. Dalam praktiknya, pengelolaan tambang lebih baik dilakukan oleh BUMN dan BUMD, yang dianggap lebih mampu mengoptimalkan manfaat ekonomi bagi negara.

Dalam diskusi, peserta sepakat bahwa kebijakan pemberian WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) dan WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) secara prioritas kepada pihak non-BUMN/BUMD dapat melemahkan penguasaan negara. Hal ini, menurut IMI dan ARKO Law, berpotensi membawa sektor pertambangan ke arah liberalisasi yang bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945.

Risiko Tata Kelola dan Dampak Sosial-Ekonomi

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Tri Hidayati, SH., M.H., menyampaikan bahwa kebijakan baru yang memprioritaskan perguruan tinggi, UMKM, dan organisasi keagamaan dalam perolehan izin tambang dinilai berisiko terhadap tata kelola yang baik.

“Pemberian izin kepada entitas non-pemerintah membuka potensi untuk kepentingan politik yang menggeser kontrol negara,” ujar Prof Tri dalam acara tersebut, dari pers rilis yang diterima nikel.co.id, Kamis (20/2/2025).

Lebih lanjut, Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan, kebijakan ini dianggap dapat menurunkan efektivitas pengelolaan tambang, memperburuk eksploitasi yang tidak terkendali, dan merusak lingkungan.

“Pergeseran kontrol negara atas sektor tambang dapat mengurangi penerimaan negara dan menurunkan daya saing industri,” tambah Meidy masih dalam waktu yang sama.

Sementara itu, Direktur Advisory PWC Indonesia, Sacha Winzeried menyatakan, Pentingnya Pengawasan dan Standar Ketat IMI dan ARKO Law, dia berpendapat bahwa regulasi pertambangan nasional sudah cukup matang dan pelonggaran standar izin kepada entitas non-komersial justru akan melemahkan tata kelola. Pembentukan kebijakan harus memprioritaskan eksplorasi dan eksploitasi oleh entitas yang kompeten dengan pengawasan yang ketat.

“Kami harus belajar dari negara lain, di mana lembaga non-komersial lebih banyak terlibat dalam investasi pasif, dengan menerapkan standar teknis yang ketat,” kata Sacha.

Dalam pemaparan materi, Ketua IMI, Prof. Ir. Irwandy Arif mengatakan, keterlibatan Perguruan Tinggi dan UMKM Beberapa peserta diskusi juga memberikan perhatian terhadap kebijakan yang memprioritaskan perguruan tinggi dan UMKM. Pemberian WIUP kepada perguruan tinggi dinilai tidak sesuai dengan tugas utama mereka dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, keterbatasan modal dan keahlian yang dimiliki perguruan tinggi dan UMKM berisiko menghambat implementasi kebijakan ini.

“Sebagai alternatif, perguruan tinggi bisa berperan dalam riset dan pengembangan teknologi pertambangan, bukan terlibat langsung dalam operasionalnya,” ujar Prof. Irwandy.

Proses Penyusunan RUU Minerba

Salah satu catatan penting, lanjut dia, adalah proses penyusunan RUU Minerba yang dinilai sangat cepat dan minim partisipasi publik. Peserta diskusi mengingatkan bahwa proses legislasi yang ideal seharusnya melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri dan masyarakat sipil, guna menghasilkan regulasi yang komprehensif dan tepat sasaran.

“Keterlibatan publik akan memperkuat substansi regulasi dan meningkatkan legitimasi kebijakan,” tambah Prof. Irwandy.

Dengan berbagai masukan ini, IMI dan ARKO Law berharap proses legislasi terkait sektor pertambangan lebih transparan dan berbasis bukti, serta mampu menjawab tantangan sektor pertambangan yang kian dinamis. (Shiddiq)