Beranda Hukum Pengamat: Sanksi Hukum Penambang Ilegal Masih Ringan, Perlu Penegak Hukum yang Kuat

Pengamat: Sanksi Hukum Penambang Ilegal Masih Ringan, Perlu Penegak Hukum yang Kuat

2310
0
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Regulasi yang mengatur sektor pertambangan di Indonesia bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan pertambangan dilakukan secara legal, aman, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai saknsi hukum di sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) Indonesia dalam penambangan ilegal belum efektif sehingga diperlukan hukuman dan aparat penegak hukum yang tegas.

“Undang-Undang (UU) minerba tersebut belum efektif menangani tambang ilegal, hukuman amat ringan tidak sebanding dengan kerugian negara akibat tambang ilegal,” sebut Fahmy kepada nikel.co.id, melalui pesan singkat Whatsapp, Senin 917/2/2025).

Menurutnya, selama ini sanksi hukum terlalu ringan dan aparat penegak hukum di sektor pertambangan masih sangat lemah sehingga pertambangan ilegal masih terus terjadi hingga saat ini. Seharusnya pemerintah membuat aparat penegak hukum yang memiliki otoritas yang kuat untuk menindak aktor utama dan pelindung pertambangan ilegal.

“Di samping ancaman hukuman yang keras, juga diperlukan aparat tegas dalam penegakan hukum kepada pelaku tambang ilegal, termasuk menindak backing,” ujarnya.

Di bawah ini akan dijelaskan secara rinci isi Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Menteri (Permen) yang relevan dengan sektor ini, serta sanksi yang dapat dikenakan bagi pelanggarannya.

Dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU ini merupakan payung hukum utama yang mengatur segala aspek pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Beberapa pasal penting dalam UU ini antara lain:

Pasal 158, pasal ini mengatur tentang sanksi pidana bagi setiap orang atau badan hukum yang melakukan penambangan tanpa izin. Dalam pasal ini, dinyatakan bahwa siapa pun yang menambang tanpa izin resmi dapat dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal sebesar Rp100 miliar.

Ini menunjukkan betapa seriusnya pemerintah Indonesia dalam memberantas praktik penambangan ilegal yang dapat merusak lingkungan dan merugikan negara.

Penambangan tanpa izin adalah bentuk pelanggaran yang dapat merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan sumber daya alam. Oleh karena itu, sanksi pidana yang tegas diberikan untuk mencegah dan mengurangi praktek ilegal di sektor pertambangan.

Pasal ini juga menjadi landasan hukum bagi aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Kemudian, Pasal 161 menegaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan atau penampungan mineral yang berasal dari penambangan ilegal juga dapat dikenakan sanksi pidana.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya penambang yang melanggar hukum, tetapi juga pihak-pihak lain yang memfasilitasi peredaran mineral ilegal. Oleh karena itu, pasal ini turut memperluas cakupan pengawasan dan penegakan hukum terhadap seluruh rantai aktivitas dalam industri pertambangan, mulai dari penambang hingga pedagang atau pengepul mineral.

Selain itu, PP No. 96 Tahun 2021 tentang Perizinan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

PP ini mengatur lebih lanjut mengenai prosedur perizinan dan sanksi yang terkait dengan kegiatan usaha pertambangan. Salah satu pasal yang penting dalam PP ini adalah:

Pasal 107, pasal ini mengatur tentang status Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dicabut. Dinyatakan bahwa IUP yang telah dicabut tidak boleh digunakan untuk kegiatan penjualan hasil tambang, kecuali jika ada ketetapan baru dari pemerintah.

Ini berarti bahwa setiap usaha pertambangan yang izin operasionalnya dicabut harus berhenti total dalam kegiatan operasionalnya, termasuk dalam hal penjualan hasil tambang. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan bahwa aktivitas pertambangan dilakukan hanya oleh perusahaan yang memiliki izin resmi dan memenuhi kewajiban regulasi yang ada.

PP No. 96 Tahun 2021 tentang Sanksi Administratif

Dalam PP ini, terdapat pula ketentuan yang mengatur sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban terkait dengan reklamasi dan pasca-tambang.

Pada Pasal 187 ini menyebutkan bahwa perusahaan tambang yang tidak memenuhi kewajiban reklamasi dan pasca-tambang dapat dikenakan sanksi administratif.

Kewajiban reklamasi dan pasca-tambang merupakan bagian penting dari tanggung jawab perusahaan pertambangan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas pertambangan.

Sanksi administratif yang dimaksud bisa berupa denda, pencabutan izin, atau sanksi lain yang lebih berat. Hal ini bertujuan untuk mendorong perusahaan untuk bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan.

Selanjutnya, Permen ESDM No. 26 Tahun 2018 tentang Reklamasi dan Pascatambang

Permen ini mengatur secara khusus kewajiban perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi dan pengelolaan pasca-tambang. Salah satu pasal yang relevan dalam peraturan ini adalah:

Pasal 63 yang mengatur bahwa setiap perusahaan tambang wajib menyediakan dan menyetor dana jaminan reklamasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dana jaminan reklamasi ini digunakan untuk memastikan bahwa setelah kegiatan penambangan selesai, perusahaan bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan atau pemulihan kondisi lingkungan yang terdampak.

Hal ini mencakup, misalnya, penanaman kembali vegetasi, pembersihan lahan, dan rekultivasi area yang telah ditambang. Dengan adanya kewajiban dana jaminan reklamasi ini, diharapkan perusahaan tambang dapat lebih bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian lingkungan, meskipun kegiatan penambangan telah selesai dilakukan.

Berbagai regulasi yang mengatur sektor pertambangan di Indonesia semakin ketat dan bertujuan untuk menciptakan industri pertambangan yang lebih transparan, aman, dan berkelanjutan.

Dengan adanya berbagai ketentuan hukum seperti yang tercantum dalam UU No. 3 Tahun 2020, PP No. 96 Tahun 2021, dan Permen ESDM No. 26 Tahun 2018, pemerintah ingin memastikan bahwa kegiatan pertambangan yang dilakukan tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga tidak merusak lingkungan dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.

Sanksi yang diberikan, baik itu pidana, administratif, maupun kewajiban finansial seperti dana jaminan reklamasi, merupakan bentuk pengawasan yang diharapkan dapat meminimalkan kerugian negara dan dampak negatif terhadap lingkungan.

Dengan penegakan hukum yang tegas, sektor pertambangan Indonesia diharapkan dapat berkembang secara berkelanjutan dan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan masyarakat. (Shiddiq)