
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi besar terkait bauran energi, yakni peralihan dari energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) menjadi prioritas utama untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan bahan bakar fosil lainnya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Tri Hayati, S.H., M.H., mengatakan hal itu saat menjadi narasumber utama Strategic Discussion yang diselenggarakan Indonesia Mining Institute (IMI), di The Westin Jakarta, Selasa (4/2/2025). Dalam kesempatan itu, ia membahas topik terkait peralihan menuju EBT dan tantangan yang dihadapi sektor pertambangan di Indonesia.
“Seiring dengan target-target yang telah ditetapkan pada 2030 dan 2050, kita harus mampu mengurangi ketergantungan pada energi fosil, yang sebagian besar masih diimpor, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan,” ujar Prof. Tri.
Namun, tantangan besar dihadapi dalam mewujudkan perubahan ini, salah satunya adalah pengurangan eksploitasi energi fosil yang masih mendominasi.
“Untuk memenuhi komitmen lingkungan global dan nasional, eksploitasi batu bara harus dikurangi dan kita perlu mempercepat pengembangan kebijakan transisi energi yang jelas,” tambahnya.
Untuk mendorong peralihan ini, ia menyarankan pengembangan teknologi baru yang mendukung efisiensi energi dan pengurangan dampak lingkungan dari sektor energi fosil.
“Kebijakan yang mendukung investasi dalam energi terbarukan, seperti solar, angin, dan geothermal, sangat penting untuk mendongkrak transisi ini,” ujarnya.
Selain itu, dalam konteks sektor pertambangan, ia juga menyoroti pentingnya penataan wilayah pertambangan untuk UMKM dan perguruan tinggi. Meskipun hal ini membuka peluang bisnis baru, seringkali ketidakpastian regulasi menjadi masalah yang perlu diatasi.
“Batasan wilayah dan perubahan regulasi yang tidak konsisten menyulitkan pelaku usaha dalam merencanakan proyek mereka,” ungkapnya.
Dia memaparkan, solusi yang diajukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menciptakan regulasi yang lebih stabil dan melibatkan semua pihak terkait, termasuk asosiasi industri dan perguruan tinggi, dalam proses perumusan perundang-undangan.
“Konsultasi dengan berbagai stakeholder untuk merumuskan regulasi yang adil dan memperhatikan kebutuhan jangka panjang sangat dibutuhkan,” paparnya.
Lebih lanjut, beliau juga membahas pengaruh politik terhadap kebijakan hukum dan regulasi di Indonesia. Menurutnya, keterlibatan unsur politik dalam pengambilan kebijakan sering kali membuat keputusan tidak objektif dan cenderung dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. Hal ini dapat menyebabkan kebijakan yang tidak berkelanjutan dan berdampak buruk pada masa depan sektor energi dan pertambangan.
“Penguatan sistem hukum dan transparansi dalam pembuatan kebijakan sangat penting untuk menghindari kebijakan yang hanya didorong oleh kepentingan politik semata,” tuturnya.
Dalam menghadapi dampak politik terhadap kebijakan dan bisnis, Prof. Tri menegaskan pentingnya kebijakan yang berbasis bukti dan riset yang kuat.
“Melibatkan para pakar sektor dalam memberikan masukan konkret akan membantu mengurangi ketidakpastian yang dihadapi oleh pelaku usaha,” jelasnya.
Dia juga menekankan bahwa untuk mencapai transisi energi yang berkelanjutan dan mengatasi masalah pertambangan, perlu adanya dialog yang lebih intens antara pengusaha, akademisi, dan regulator.
“Hanya dengan pertemuan antara berbagai pihak yang terkait, kita bisa merumuskan solusi terbaik yang mendukung keberlanjutan sektor energi dan pertambangan di Indonesia,” tutupnya. (Shiddiq)