NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Moratorium pembangunan smelter nikel berbasis teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) yang belakangan disuarakan kepada pemerintah tampaknya terabaikan. Rencana moratorium smelter RKEF tidak kunjung selesai dipertimbangkan pemerintah.
“Ya, kita masih evaluasi,” ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, kepada wartawan, dikutip nikel.co.id melalui laman bloomberg, Selasa (17/12/2024).
Pemerintah mempertimbangkan untuk tidak lagi memberikan insentif fiskal bagi investasi hilirisasi nikel yang sudah mature, termasuk smelter nikel RKEF yang mengolah saprolit menjadi bahan baku baja nirkarat.
Menurut Yuliot, dalam rangka mendorong hilirisasi sektor pertambangan, pemerintah akan mengkaji pemberian fasilitas libur pajak (tax holiday) berdasarkan kriteria industrinya. Industri yang dinilai sudah mature, atau tidak lagi pionir, akan dikaji untuk dicabut insentifnya.
“Jadi, pada saat industri itu sudah tidak pionir lagi, sudah banyak pelaku usahanya, ya ini kita akan melakukan review,” katanya menerangkan.
Dalam kaitan itu, Kementerian Investasi dan Hilirisasi (Keminhil)/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan bertugas menyeleksi kegiatan-kegiatan usaha yang dinilai sudah tidak pionir alias tidak layak mendapatkan insentif fiskal.
“Kita akan lihat mekanisme insentif yang lain. Perpanjangan fasilitas tax holiday sudah diatur berdasarkan peraturan menteri keuangan (PMK). Untuk bidang-bidang usaha nanti masih dalam evaluasi,” lanjutnya.
Sementara itu, Direktur Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Keminhil/BKPM, Hasyim Daeng Barang, mengatakan, pemerintah masih membahas urgensi moratorium smelter nikel berbasis RKEF ini. Pemerintah, khususnya di kalangan kementerian terkait, tengah menghitung berapa total smelter RKEF di Indonesia, berikut kapasitas produksi serta permintaannya.
“Tidak mendesak juga sebenarnya. Tanpa moratorium juga kan pasti investor sudah tidak ke arah situ karena sudah banyak smelternya. Smelter RKEF itu sudah banyak,” ujar Hasyim kepada wartawan saat dijumpai usai diskusi CSIS belum lama ini.
Bahkan ia menjelaskan, pemerintah juga tidak bisa memaksakan penyetopan investasi smelter nikel RKEF. Namun, dia meyakini investasi smelter RKEF akan melambat dengan sendirinya jika produksi olahan saprolit dari Indonesia sudah terlalu membanjiri pasar.
Masukan juga disampaikan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Wadah para penambang nikel Indonesia ini meminta pemerintah untuk fokus mendukung pabrik pengelolaan dan pemurnian (smelter) yang sudah eksis di Indonesia terlebih dahulu, tidak menambah smelter lagi.
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, mengingat jumlah cadangan nikel di Indonesia semakin menipis, sebaiknya pemerintah jangan menambah smelter lagi. Jika smelter terus dibangun, cadangan akan cepat habis.
Saat ini, katanya mendeskripsikan, smelter pirometalurgi yang sudah beroperasi 49 smelter, 226 lines, dengankebutuhan bijih nikel 232.292.989 wmt; sedangkan yang masih tahap tahap kontruksi ada 36 smelter, 133 lines, yang diperkirakan membutuhkan bijih nikel sebanyak 158.056.379/wmt. Untuk smelter hidrometalurgi yang sudah beroperasi berjumlah 6 pabrik, 15 lines, dengan kebutuhan bijih nikel 62.259.968 wmt; dalam tahap kontruksi ada 4 pabrik, 6 lines dan membutuhkan nikel sebanyak 56.941.206/wmt.
“Kami, APNI, concern atas kebutuhan bijih nikelnya, baik hidrometalurgi maupun pirometalurgi, baik yang sudah berproduksi maupun yang sedang konstruksi,” ujar Meidy.
Kalau dijumlahkan, katanya meneruskan, konsumsi bijih nikel untuk pirometalurgi, yang sudah produksi ditambah yang sedang tahap kontruksi, jumlahnya mendekati 400 juta ton, tepatnya 390.349.368 ton. Untuk hidrometalurgi, yang sudah beroperasi ditambah dengan yang tahap kontruksi, mencapai 119.200.994/wmt.
“Oleh karena itu, sejak 2022, APNI sudah meminta pemerintah untuk melakukan moratorium smelter nikel, khususnya yang menggunakan teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF). Mudah-mudahan saat ini kita cukup mendukung pabrik yang sudah berdiri. Pemerintah sebaiknya lebih mengundang HPAL karena makannya bijih nikel kadar rendah,” begitu ia berargumen.
Akan tetapi, kalaupun mau membangun smelter, Sekum APNI itu menyarankan agar lebih menggunakan teknologi oxygen enriched side blown furnace (OESBF) yang sudah digunakan CNGR.
“Ongkos produksinya lebih murah dan menggunakan bijih nikel kadar rendah. Dan, yang lebih menarik lagi adalah konsumsi energinya hanya sekitar 30-35 megawatt dibanding yang RKEF konvensional dan pastinya kembali ke pencemaran udara,” tutupnya. (Lili Handayani)