
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Tiga kebijakan utama pemerintah, yang efektif dalam mewujudkan amanah UU Minerba untuk meningkatkan nilai tambah dalam pengolahan mineral dalam negeri, adalah kewajiban pengelolaan di dalam negeri, kombinasi kebijakan yang menarik, dan kebijakan industrial.
Hal itu diungkapkan Asisten Deputi Pertambangan Kemenko Marves, Tubagus Nugraha, dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia, belum lama ini. Menurut dia, tiga hal tersebut sangat mendasari kebijakan utama. Hilirisasi itu menjadi fleksi kebijakan pemerintah selama ini.
“Pertama, pemerintah secara konsisten menetapkan kewajiban pengelolaan di dalam negeri dan wujudnya bisa dilihat dengan penerapan kebijakan untuk larangan ekspor yang diawali dengan bijih nikel pada awal Januari 2020,” kata Tubagus.
Kedua, katanya meneruskan, Indonesia tidak akan bisa menghitung sejauh mana dampak industrialisasi kalau hanya mengandalkan kemampuan berdasarkan sumber daya mineral yang dimiliki, tetapi harus ada kombinasi melalui kebijakan investasi yang menarik.
“Jadi, itulah yang mendorong kemudahan bisnis yang kita jalankan melalui reformasi, melalui Omnibuslaw, insentif baru, baik berupa fiskal maupun non fiskal. Itulah yang menggairahkan investasi untuk hilirisasi masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Selanjutnya, yang ketiga adalah kebijakan industrial yang banyak menempatkan kawasan-kawasan industri di daerah-daerah produksi utama dan itu akan mengakibatkan ongkos logistik untuk basis produksi menjadi lebih kompetitif. Ditambah, proses transisi energi dan ukuran pasar mineral kritis, termasuk nikel, sangat booming (signifikan).
Sekarang ini komoditas meningkat sangat signifikan, sehingga inilah kesempatan bagi Indonesia untuk memainkan peran sentral yang sangat penting dalam mineral kritis untuk transisi energi.
“Ditambah hal ini yang menjadi basis pondasi bagi kita untuk melakukan transformasi ekonomi di dalam negeri. Saya pikir sudah sangat tepat yang telah dijalankan pemerintah selama 10 tahun terakhir ini,” jelasnya.
Sementara, ekonom CNBC Indonesia, Maesaroh, menjelaskan, keberhasilan hilirisasi dalam mendongkrak ekonomi Indonesia harus dilihat dari ekspor dan investasi. Contohnya, pertumbuhan di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah sebagai kawasan industri smelter nikel kalau mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), setelah dihilirisasi pada 2017 ekspor feronikel dan nikel serta turunannya sudah mencapai Rp136 triliun dari sebelumnya tahun 2010-2016 hanya Rp87 triliun.
“Artinya, ada peningkatan ekspor yang sangat luar biasa di sana dan investasinya sudah sangat besar. Kalau kita lihat sekitar Rp350 triliun tahun kemarin,” jelasnya.
Menurutnya, secara ekonomi kalau ada pabrik smelter di Sulawesi Tengah maupun Maluku Utara maka akan tumbuh sumber-sumber ekonomi baru, bukan hanya dari hasil ekspor tetapi akan tumbuh UMKM baru, seperti bisnis makanan, perumahan, dan akses jalan, sehingga dari investasi Rp10 triliun akan mengalami peningkatan ekonomi menjadi 3-4 kali lipat.
“Saya pernah berbicara dengan agen perbankan di sana, ketika ada pabrik pengolahan di Morowali tiba-tiba ada banyak sekali transaksi perbankan, ada banyak sekali UMKM. Jadi, hidup di sana ekonominya lebih hidup. Itu yang kita lihat di di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, ekonominya dobel digit dalam 4 tahun terakhir,” ujarnya. (Shiddiq)