Beranda Agustus 2024 APNI Paparkan Awal Larangan Ekspor Bijih Nikel Digugat dan Keberhasilan Hilirisasi Indonesia

APNI Paparkan Awal Larangan Ekspor Bijih Nikel Digugat dan Keberhasilan Hilirisasi Indonesia

2674
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey (tengah) saat paparan acara Trade Corner Special Dialogue, Kemendag RI, Jakarta, Kamis (29/8/2024).

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, memaparkan awal gugatan Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel pada 2020 yang membawa keberhasilan hilirisasi nikel Indonesia hingga isu dirty nickel.

Hal tersebut diungkapkan Meidy pada acara Trade Corner – Special Dialogue, diselenggarakan Kementerian Perdagangan RI bekerja sama dengan CNBC Indonesia, yang mengusung tema “Strategi & Optimisme Kebijakan Perdagangan Luar Negeri hingga Tantangan di WTO”.

Menurut dia, saat itu pemerintah dinilai agak memaksa. Tetapi, jika tidak dipaksa, hilirisasi tidak akan terjadi. Akhirnya, hilirisasi dilakukan pada 2020 dengan mewajibkan pembangunan smelter sesuai UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. UU tersebut mewajibkan perusahaan pertambangan mineral logam membangun smelter untuk mengolah bijih mineral.

“Keberhasilan hilirisasi di Indonesia terlihat dari rencana 132 pabrik pengolahan nikel saat ini sudah lebih dari 49 smelter RKEF beroperasi, yang menghasilkan NPI dan turunannya, ditambah 5 pabrik HPAL yang sudah beroperasi dan menghasilkan bahan baku baterai. Artinya, ini belum berhenti sampai di sini. Masih ada pabrik-pabrik yang sedang dalam konstruksi dan ada juga yang sedang menyelesaikan perizinan,” katanya pada acara yang berlangsung di Auditorium Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (29/8/2024).

Kebijakan hilirisasi nikel, sambungnya, tidak hanya membawa keberhasilan, tetapi mampu menggoyang pasar dunia dengan oversupply yang mengakibatkan pelemahan harga nikel dunia hingga penurunan harga nikel.

“Jadi, secara keseluruhan, kalau boleh kita bilang, kita ini over target, over success. Kita punya success story dari hilirisasi nikel. Namun, saat ini kami merasa harus berhenti karena kita mengalami kesulitan. Walaupun Indonesia adalah negara nomor satu sebagai importir nikel, juga nomor satu produsen nikel, tapi ingat, nikel tidak berkembang maka akan habis,” ujarnya mengingatkan.

APNI, katanya melanjutkan, sudah meminta pemerintah untuk menghentikan pemberian izin pembangunan smelter baru karena smelter sudah terlalu banyak. Jika smelter terus bertambah, maka cadangan nikel akan cepat habis untuk memenuhi kebutuhan smelter.

“Pemerintah, tolong saat ini fokus pada pabrik-pabrik pengolahan yang sudah jadi dan setengah jadi. Kita sudah memiliki pabrik pengolahan stainless steel, baterai katoda, dan nanti kita akan membentuk perjanjian untuk memenuhi kebutuhan bahan baku baterai,” jelasnya.

Ia berpendapat, inilah alasan mengapa Indonesia harus berhenti menjadi negara eksportir bahan baku mentah. Selain itu, gugatan UE terhadap Indonesia di WTO masih terus berlangsung, mulai dari sidang gugatan kebijakan larangan ekspor bijih nikel melalui tahapan-tahapan panel dan banding hingga keputusan akhir nanti.

Namun, dampak positif dari kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor bijih nikel membuat berbagai negara berminat untuk berinvestasi di Indonesia, seperti China, Jepang, Korea, dan Eropa. Bahkan, Australia sekalipun saat ini sedang dalam proses negosiasi untuk berinvestasi di Indonesia.

Selain fokus pada gugatan UE, ia menambahkan, APNI juga fokus menghadapi isu dirty nickel Indonesia, yang dihembuskan UE, melalui langkah pembuatan lanskap ESG dari Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia itu sendiri. Karena, ESG yang diterapkan di Eropa maupun negara lainnya belum tentu sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia.

ESG Agency yang disarankan oleh para produsen, saya sendiri sudah berdiskusi dengan Tesla, Ford, BMW hingga Mercedes-Benz. Mereka sangat tertarik berinvestasi di Indonesia dengan syarat. Inilah kondisi yang mereka terapkan sesuai kemauan mereka, tapi tolong lihat kondisi di Indonesia yang tidak semudah itu,” ungkapnya.

Jadi, dalam paparannya, ia menuturkan bahwa negara-negara UE hingga China pada 20-30 tahun lalu saat awal melakukan hilirisasi nikel dalam pengolahannya mungkin lebih kotor dibandingkan Indonesia.

Saat ini, dengan perkembangan teknologi yang mulai dikuasai Indonesia, terutama di sektor pertambangan hulu hingga hilir, termasuk nikel, telah memberikan manfaat besar bagi seluruh kepentingan yang terkait. Misalnya, peningkatan ekonomi, terutama di wilayah lokasi tambang dan pabrik pengolahan, dari pendapatan pemerintah daerah hingga penyerapan tenaga kerja serta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

“Kemudian dengan teknologi-teknologi baru yang tadinya kita kurang memahami, saat ini kita mulai paham. Oh baterai prosesnya seperti ini. Oh stainless steel prosesnya seperti ini,” tuturnya.

Di beberapa sentra nikel juga sudah mulai dibangun politeknik dan transfer teknologi. Ini adalah yang dibutuhkan masyarakat, bangsa, dan negara, dan langkah pemerintah sudah tepat dengan memaksa sedikit namun akhirnya membuahkan hasil yang bernilai tambah. Meskipun pada awal hilirisasi dan larangan ekspor menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha tambang mengenai ke mana barang tambang akan dijual.

“Tapi karena dipaksa, akhirnya inilah yang terjadi, value added benar-benar terjadi di Indonesia karena ada pengembangan nikel, bahkan oversupply,” katanya menegaskan. (Shiddiq)