NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Indonesia diklaim sebagai negara pertama yang memiliki ekosistem mobil listrik di dunia yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, dari tambang hingga produk jadi (end product). Hal ini dimulai sejak berdirinya pabrik baterai mobil listrik Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution di Karawang, Jawa Barat, Indonesia yang terlengkap di dunia.
Pabrik baterai mobil listrik Hyundai yang diresmikan pada Rabu, (3/7/2024) ini, memiliki kapasitas produksi sebesar 10GigaWatt hour (GWh) dan produksi sel baterai sebesar 32,6 juta yang dapat menghasilkan sebanyak 150.000 kendaraan listrik. Pada fase kedua tahun 2025 nanti kapasitas produksi akan meningkat menjadi 20GWh.
Hal ini sejalan dengan ambisi Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) yang menargetkan produksi sebesar 600.000 unit mobl listrik berbasis baterai atau Battery Electric Vehicle (BEV) pada tahun 2030.
“Yang kita harapkan nanti kapasitasnya setiap tahun akan bertambah-akan bertambah dan selanjutnya kita bisa masuk menjadi supply chain global yang goalnya ke sana,” kata Jokowi saat peresmian Pabrik Baterai Mobil Listrik Hyundai Asal Korea Selatan, seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (17/7/2024).
Menurutnya, ekosistem ini bukan hanya terfokus pada pabrik BEV saja melainkan hal-hal yang terkait yang dapat meningkatkan nilai tambah juga menjadi fokus pemerintah untuk mengembangkannya.
“Tidak saja untuk urusan BEV tetapi juga untuk barang-barang lainnya agar kita bisa memproduksi setengah jadi minimal atau barang jadi seperti yang sekarang kita lihat (Pabrik Baterai Mobil Listrik Hyundai),” ujarnya.
Melihat potensi besar Indonesia yang merupakan salah satu pasar mobil listrik terbesar di Asia Tenggara dengan pelanggan potensial sebesar 700 juta orang. Selain itu, Indonesia juga melihat bahwa industri mobil listrik ini sangat ramah lingkungan, meningkatkan devisa negara, padat karya dan membumingkan nama Indonesia di kancah dunia.
Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan diantaranya membuka investasi sebesar-besarnya dengan insentif kemudahan pajak hingga 32% dari harga jual mobil listrik. Langkah itu pun berbuah manis karena investasi industri perakitan kendaraan listrik sudah mencapai Rp4,49 Triliun. Ditambah,penjualan mobil listrik yang meningkat pesat pada periode Januari – Mei 2024 melonjak sebesar 109,68% dibandingkan periode yang sama di tahun 2023.
Pengamat Otomotif, Bebin Djuana, menyikapi ambisi Presiden Jokowi sebanyak 600.000 produksi mobil listrik tahun 2030 merupakan hal yang realistik.
“Terlebih lagi mayoritas saham perusahaan patungan ini merupakan milik LG sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya produksi baterai lithium fero phosphate (LFP) seperti yang digunakan produsen mobil listrik seperti Tesla, Wuling, BYD maupun mobil asal China lainnya dan tak hanya baterai mobil listrik milik Hyundai,” sebut Bebin Juana.
Hal ini senada dengan Executive Chairman Hyundai Motor Group, Euisun Chun, yang mengatakan, mengembangkan material bahan baku baterai dari China dan material dari Indonesia bisa saja dipadukan tapi ini tergantung dari kebijakan pemerintah.
“Kami tidak bisa menentukan, jadi kami harus melihat isu geopolitik dan semuanya. Kami lihat nanti,” ujar Euisun Chun.
Sementara, Presiden Direktur PT Build Your Dreams (BYD) Motor Indonesia, Eagle Zhao, menyampaikan, diperkirakan dalam waktu dekat, perusahaan mobil listrik China, BYD, akan membangun pabriknya di Indonesia.
“Dengan kapasitas dan manufaktur kami mengincar 150.000 unit per tahun. Total investasi di Indonesia, kami mengincar lebih dari US$1 miliar (sekitar Rp16 triliun). Kalau semua berjalan lancar, target kami 2026,” ungkap Eagle Zhao.
Kembali, Bebin Djuana, menegaskan, mengenai target, umumnya semua memasang target yang lebih tinggi, tapi realistis atau tidaknya itu dipengaruhi banyak faktor, termasuk kesiapan dari produsen-produsen.
“Kebetulan nama yang muncul salah satunya, BYD. Satu, dia bisa membuat mobil dengan harga yang masuk di ‘Harga mobil yang terjangkau di negara kita’. Artinya BYD bisa membuat mobil yang di kisaran Rp300 juta bahkan kurang dari itu,” tegasnya.
Dia menjelaskan, hal itu dimungkinkan jika baterainya dibuat di Indonesia dan akan menekan harga hingga di bawah Rp300 juta. Namun memang yang menjadi masalah hingga saat ini adalah permintaan dari pasar, karena penetrasi pasar mobil listrik masih belum optimal lantaran belum ada stimulus lain selain pajak yang bisa membuat masyrakat membeli mobil listrik.
“Selain itu, daya beli masyrakat masih terhambat karena sedikitnya Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan tidak jelasnya harga pasar mobil bekas dari mobil listrik,” jelasnya.
Ia menuturkan, apa gunanya produksi mobil dalam jumlah besar jika tidak ada pembelinya, memang masih bisa diekspor tetapi apakah Indonesia sudah mampu bersaing dengan produsen-produsen asal China atau negara lain.
“Bersaing itu bukan hanya soal harga saja tapi juga dalam hal kualitas dan kita tahu bahwa kendaraan dari China misalnya kalau saya mengambil sampling, kita lihat teknologi yang diberikan kepada konsumen adalah fitur-fitur yang luar biasa, fitur terkini bukan fitur seperti di masa lampau” tuturnya. (Shiddiq)