NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pada 2020, Pemerintah RI melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberlakukan larangan ekspor bijih nikel. Peraturan tersebut tertuang dalam Permen ESDM No. 1 Tahun 2019 dan berlaku sejak 1 Januari 2020.
Tak pelak, larangan itu menuai protes dari berbagai negara pengimpor bijih nikel. Uni Eropa menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO).
Indonesia dinyatakan kalah atas gugatan Uni Eropa di WTO pada Oktober 2022. Berdasarkan hasil sidang, Indonesia dinyatakan kalah karena industri hilirisasinya dianggap belum matang oleh WTO.
Namun, itu tidak menyurutkan langkah Indonesia untuk terus melakukan hilirisasi nikel. Berbagai smelter dibangun sejak kebijakan itu ditetapkan.
Hingga Oktober 2023 smelter yang sudah beroperasi, dalam masa konstruksi, dan ingin dibangun, terakumulasi mencapai 116 smelter nikel untuk saprolit dan limonit.
Indonesia juga mengajukan banding di WTO sehingga putusan protes larangan ekspor bijih nikel belum mencapai final.
Menurut data yang diberikan Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI pada 1 April 2024, nilai ekspor produk turunan nikel melonjak naik sejak dilakukan larangan ekspor bijih nikel.
Pada tahun 2020, ekspor produk turunan nikel hanya mencapai US$11,7 miliar. Namun, pada tahun 2021, ekspor produk turunan nikel melonjak mencapai US$22,2 miliar.
Disusul ekspor produk turunan nikel pada 2022 mencapai US$33,7 miliar dan pada tahun 2023 mencapai US$33,52 miliar.
Keberhasilan hilirisasi ini tidak hanya ada di sektor tambang nikel. Secara global, Bahlil menyebut bahwa hilirisasi pada tahun 2023 melebihi target yang ditetapkan Jokowi.
“Pak Jokowi memberikan target Rp1.400 triliun dan alhamdulillah kita realisasikan sebesar Rp1.418,90 triliun,” ujar Bahlil dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI. (Aninda)