Beranda Berita Nasional Supply Chain, Salah Satu Syarat Indonesia Untuk Menjadi Pemain Utama Industri Baterai

Supply Chain, Salah Satu Syarat Indonesia Untuk Menjadi Pemain Utama Industri Baterai

2526
0
Presiden Direktur PT Dharma Controlcable Indonesia, Eko Maryanto. (Tangkapan layar youtube Warta Ekonomi)
Presiden Direktur PT Dharma Controlcable Indonesia, Eko Maryanto. (Tangkapan layar youtube Warta Ekonomi)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Indonesia memiliki potensi besar sebagai pemain utama di dunia dalam industri battery electric vehicle (EV). Saat ini, Indonesia memiliki cadangan sumber daya nikel terbesar di dunia sebagai bahan baku industri baterai dan pengembangan kendaraan listrik.

Namun, polemik yang terjadi terkait pengembangan baterai yang kini beralih ke bahan besi atau Lithium Ferro Phosphate (LFP) beberapa waktu belakangan seakan menghalangi potensi besari tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur PT Dharma Controlcable Indonesia, Eko Maryanto menyatakan jika Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam industri Battery untuk kebutuhan kendaraan listrik, masih harus melengkapi infrastruktur supply chain industri Battery dan meningkatkan nilai tambah kekayaan alam Indonesia.

“Nah ini salah satu syarat Indonesia, kalau kita ingin menjadi pemain utama di industri EV, dengan adanya bahan baku dimiliki. Kita harus memiliki supply chain yang sangat kuat mulai dari minning, upstream, yaitu ada minning refining. Ini yang sudah dijalankan pemerintah, dengan adanya hilirisasi nikel. Terus kemudian, midstream,” ungkap Eko dalam acara Indonesia Economic dan Business Outlook 2024 yang diselenggarakan Warta Ekonomi, Selasa (26/03/2024).

Eko menerangkan hilirasasi masih fokus di upstream, pemerintah harus mulai fokus ke midstream dengan membangun industri pembuat precursor dan battery cell yang masih di import.

“Midstream ini yang jadi masalah yang ada di Indonesia. Precursor itu di Indonesia belum ada. Bahan pembuat untuk baterai, battery cell,” katanya.

Dirinya menjelaskan, PT  HLI Green Power (Hyundai – LGES) yang saat ini membuat battery cell untuk kebutuhan Hyundai masih menggunakan precursor yang di import.

“Semua yang ada bahan baku untuk LG, hyunday LGES, HLI green power, itu selama ini bisa dikata hampir kebanyakan masih impor. Ini yang membuat kita di Indonesia kurang kompetitif, sehingga banyak industri yang lain yang ingin mendirikan battery cell itu gak di Indonesia,” katanya.

“Ini beberapa partner kita yang ada di China, pemain besar di baterai itu. Indonesia bukan menjadi rujukan walaupun Indonesia kaya terhadap mineralnya,” lanjut dia.

Kemudian ia menjelaskan bahwa selain assembly dalam EV, juga harus memikirkan kelanjutan dalam hal battery recycle. Karena, menurut dia, ini juga akan menjadi polusi di kedepannya nanti dan itu harus ditangani.

Dirinya mengaku, DRMA sedang dalam study pengembangan teknologi precursor dan battery cell dengan potential partners yang menguasasi teknologi tersebut.

“Nah ini, kalau kita di Dharma Grup, semua yang ada disini. Kita sudah fokus di assembly sama di battery recycle, di battery recycle kita sudah mendirikan yaitu PT Dharma Energy Resources, untuk me-recycle battery tapi masalahnya ada disini. Untuk prekursor saat ini, LG itu justru membangun di Indonesia, memanfaatkan material dari Korea ataupun dari China. ” tutur Eko. (Lili Handayani)