Beranda Berita Nasional Pakar BRIN Jelaskan Baterai NMC dan LFP

Pakar BRIN Jelaskan Baterai NMC dan LFP

4118
0
Ketua Kelompok Riset Baterai, Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Sudaryanto, M.Eng saat berada di ruang laboratorium BRIN, Senin, (26/2/2024). Dokumentasi BRIN

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Ramai publik membicarakan baterai NMC (nickel manganese cobalt) maupun LFP (lithium ferro posphate) mengenai kelayakan dan keamanan serta daya tahan keduanya dalam aplikasi kendaraan listrik (mobil dan motor) untuk kendaraan masa depan.

Hal ini menjadi penting kalau dilihat Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia maupun produsen nomor satu di dunia. Di tambah obsesi atau mimpi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan Indonesia sebagai Raja Baterai dan Kendaraan Listrik nomor satu di dunia.

Untuk mewujudkan itu, Pemerintahan Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan hilirisasi nikel untuk meningkatkan nilai tambah komoditas dari bijih nikel menjadi bahan setengah jadi (intermediate)  hingga produk jadi (end product). Langkah berikutnya adalah mewajibkan perusahaan tambang membangun pabrik pengolahan (smelter) dan ditambah dengan kebijakan larangan ekspor bijih nikel ke luar negeri yang diberlakukan sejak awal Januari 2020.

Hal itu bertujuan untuk memperkuat nikel menjadi salah satu sektor industri yang dapat memberikan kemajuan perekonomian bangsa dan negara. Hitung saja semenjak hilirisasi diberlakukan Januari 2020 hingga 2023, pendapatan negara dari sektor nikel bertambah berkali-kali lipat,  menjadi sebesar US$33,8 miliar atau setara dengan Rp510 triliun, jauh lebih besar dibandingkan dengan sebelum dihilirisasi hanya sebesar US$2,1 miliar atau sebesar Rp31 triliun.

Kebijakan pengembangan ekosistem baterai listrik dan kendaraan listrik adalah bentuk keseriusan pemerintah untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya nikel menjadi sumber pendapatan negara yang akan memicu pertumbuhan ekonomi nasional.

Ekosistem baterai kendaraan listrik, yaitu mulai dari sektor hulu (upstream) seperti pertambangan, hingga midstream pabrik pemurnian atau smelter, dan hilir berteknologi tinggi (high tech downstream), yaitu pabrik baterai EV.

Sedangkan sektor hulu terdiri dari industri pertambangan dan metalurgi. Lalu midstream ada pabrik atau fasilitas pengolahan dan pemurniaan (smelter) nikel. Bagian hilir berteknologi tinggi dari pabrik prekursor, katoda, hingga baterai.

Baterai kendaraan listrik merupakan energi ramah lingkungan dan hasil kebijakan dari transisi energi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar listrik. Untuk itulah pemerintah melakukan investasi pengembangan pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik di dalam negeri sehingga nantinya terbentuk ekosistem baterai dan kendaraan listrik.

Ketua Kelompok Riset Baterai, Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Sudaryanto, M.Eng, menjelaskan, mengenai baterai nickel manganese cobalt (NMC) dan baterai lithium fero posphate (LFP) untuk bahan bakar kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

“NMC dan LFP sama-sama baterai ion litium yang dapat digunakan untuk kendaraan listrik (EV) maupun penyimpan energi (Energy Storage/ES) hanya beda material katodanya,” kata Sudaryanto melalui pesan elektronik kepada nikel.co.id, Senin, (26/2/2024).

Dia melanjutkan, NMC adalah baterai ion litium yang menggunakan senyawa dari litium dengan nikel (Ni) mangan (Mn) dan kobalt (Co) dengan komposisi tertentu, sebagai bahan katodanya.

“Sedangkan LFP adalah baterai ion litium yang menggunakan bahan dari senyawa litium (Li), besi/fero (Fe) dan fosfat (PO4) sengai katodanya. Adapun material lainnya sama, misal untuk anoda umumnya grafit atau karbon, dan elektrolit umumnya menggunakan garam LiPF6,” lanjutnya.

Ia juga memaparkan, keunggulan dan kelemahan dari NMC dan LFP. Kalau keunggulan NMC kapasitas simpanannya besar, tegangan kerjanya tinggi, relatif mudah untuk di daur ulang tetapi siklus hidup rendah, dan relatif lebih mahal

“Sedangkan LFP, relatif lebih murah, umur siklus lebih panjang, lebih aman, tetapi kapasitas simpannya lebih kecil, dan tegangan kerjanya lebih rendah,” paparnya.

Sudaryanto menjelaskan, sebagai negara pemilik cadangan nikel terbesar sudah seharusnya Indonesia menggunakan potensi nikel untuk bahan baku baterai NMC menjadi potensi ekonomi negara.

“Negara harus berusaha meningkatkan nilai tambah nikel menjadi bahan baku baterai, membangun rantai pasok industri baterai termasuk daur ulang, mengakselerasi pasar kendaraan listrik dan menyiapkan sumber daya manusia (SDM) terkait baterai,” jelasnya.

“Industri baterai menunggu pasar kendaraan listrik sebagai konsumen utama,” sambungnya.

Dia membeberkan, pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menggunakan potensi sumber daya nikel menjadi bateria NMC dibandingkan untuk produk stainless stell seperti sendok . Saat ini nikel di Indonesia lebih banyak digunakan untuk bahan baku stainless stell karena biasanya proses lebih sederhana dan lebih murah serta pasarnya telah terbuka.

“Sedangkan nikel yang dapat digunakan untuk baterai NMC cadangannya lebih sedikit, bila akan menggunakan yang cadangannya banyak prosesnya lebih rumit dan mahal,” bebernya.

Ia berharap, pemerintah diharapkan andil dalam mendorong dan menghilirisasikan hasil-hasil riset untuk pengolahan nikel menjadi bahan baterai termasuk proses daur ulangnya. “Memberikan insentif fiskal pada industri bahan baku baterai dan kendaraan listrik,” harapnya.

Sudaryanto mengungkapkan, teknologi pembuatan baterai NMC telah dikembangkan oleh BRIN. Namun, banyak riset di BRIN dan universitas tetapi terkendala proses hilirisasinya.

“Negara dapat juga membeli teknologi yang sudah banyak dimiliki negara lain asal diikuti alih teknologi,” ungkapnya.

Dia menuturkan, untuk pabrik industri sel baterai NMC di Indonesia saat ini, baru ada PT HLI Green power Solution yang berlokasi di daerah Karawang. Itu pun masih dalam tahap baru mulai.

“Industri baterai yang ada umumnya hanya perakitan dari sel baterai menjadi baterai pack,” tuturnya.

Untuk pabriknya itu sendiri antara lain, pabrik perakitan sel menjadi pack baterai. Misalnya, PT Wika Industri Energi merakit baterai litium untuk sepeda motor Gesits.

Sedangkan untuk pabrik sel baterai lithium LFP hingga sekarang baru ada PT International Chemical Industry (Intercallin) yang merupakan produsen baterai ABC. (Shiddiq)