NIKEL.CO.ID, 9 FEBRUARI 2023 – Pengamat Ekonomi Energi Unversitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menilai kebijakan subsidi kendaraan listrik oleh pemerintah bertujuan untuk bermigrasi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik untuk menekan emisi gas karbon hingga nol persen di tahun 2060.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, telah mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan subsidi pada setiap pembelian mobil listrik sebesar Rp80 juta, mobil listrik hybrid Rp40 juta, sepeda motor listrik Rp8 juta, dan konversi motor listrik Rp5 juta.
Jadi tujuan pemberian insentif kendaraan listrik itu untuk memberikan kontribusi pencapaian zero carbon pada 2060. Pasalnya, salah satu penyumbang terbesar carbon dioxide adalah asap kendaraan bermotor yang menggunakan energi fosil.
“Untuk pengurangan carbon dioxide itu pemerintah mendorong migrasi dari kendaraan bermotor fosil ke kendaraan listrik melalui insentif,” kata Fahmy melalui pesan elektronik yang diterima nikel.co.id, Kamis (9/2/2023).
Menurut Pengamat Ekonomi Energi UGM, pemberian insentif kendaraan listrik merupakan bagian tidak terpisahkan dalam pembentukan ekosistem industri nikel-baterai-mobil listrik, utamanya dalam menciptakan pasar (market creation).
“Insentif itu untuk menekan harga kendaraan listrik, yang saat ini harga masih mahal, sehingga harga terjangkau. Harapannya, konsumen akan migrasi ke kendaraan listrik,” ujarnya.
Selain itu, kata Fahmy, untuk menciptakan pasar kendaraam listrik, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden No.7/2022 tentang Pengunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas bagi pejabat pemerintah pusat dan daerah.
Berhubung pasar kendaraan dinas tidak begitu besar, penciptaan pasar kendaraan listrik perlu diperluas pada konsumen perorangan melalui pemberian subsidi bagi setiap pembelian kendaraan listrik.
“Dengan demikian, pemberian subsidi ini bukan semata-mata memberikan subsidi bagi orang kaya yang mampu membeli kendaraan listrik, tetapi lebih untuk mempercepat migrasi dari kendaraan fosil ke kendaraan listrik, yang ramah lingkungan,” ucapnya.
Ia mengungkap, negara-negara lain juga memberikan insentif serupa bagi kendaraan listrik secara memadai dan berkelanjutan, di antaranya USA, China, Norwegia, Belanda, dan Jepang. Jadi, tidak hanya negara-negara maju saja, negara-negara berkembang juga memberikan insentif kendaraan listrik, di antaranya Thailand, Vietnam, India, dan Sri Langka.
“Dalam penciptaan pasar kendaraan listrik, pemerintah harus mewaspadai jangan sampai pasar dalam negeri dikuasai oleh produk impor dan perusahaan asing, seperti industri otomotif konvensional,” sarannya.
Untuk itu, ia menekankan, pemerintah harus mensyaratkan pemberian insentif kendaraan listrik, tidak hanya keharusan pabrik di Indonesia, tetapi juga harus mensyaratkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 75 persen.
Pemerintah harus mensyaratkan juga transfer teknologi, khususnya technological capability dalam waktu 5 tahun. Kalau persyaratan tersebut dipenuhi, pada saatnya kendaraan listrik dapat diproduksi sendiri oleh anak bangsa, yang dipasarkan di pasar dalam negeri dan luar negeri.
“Kalau pasar dalam negeri sudah terbentuk, tanpa disuruh pun PLN pasti akan investasi dalam Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) di seluruh wilayah Indonesia, lantaran SPLU merupakan investasi yang prospektif,” lanjutnya.
Menurutnya, untuk penyediaan Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU), PLN seharusnya menggandeng pengusaha Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, PLN juga harus secara istiqomah menjalankan program migrasi dari penggunaan batu bara ke Energi Baru dan Terbarukan (EBET).
“Melalui insentif kendaraan listrik ini diharapkan ke depan akan tercipta penggunaan energi ramah lingkungan dari hulu hingga hilir, sehingga bukan mustahil bagi Indonesia mencapai zero carbon pada 2060,” kata Fahmy optimistis.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI, Abdul Kadir Karding menilai kebijakan subsidi motor dan mobil listrik bukan merupakan langkah yang jitu dalam upaya mendorong transisi energi ke (EBET), bahkan bisa menghabiskan banyak anggaran, sementara dampak yang dihasilkan cenderung kurang baik.
Hal itu disampaikan Karding dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII dengan Direktur Utama (Dirut) PT PLN di Ruang Rapat Komisi VII, Senayan, Jakarta, pada Rabu kemarin.
“Kebijakan ini sekali lagi kebijakan yang semangatnya bagus, tapi faktanya merusak banyak hal. Subsidi ini kan subsidi terbuka, mau siapa saja yang beli motor dan mobil kena (dapat) subsidi. Jadi tidak ada miskin, tidak ada kurang mampu, semua bisa dapat,” tuturnya.
Karding menduga kebijakan subsidi kendaraan listrik akan membuat kemacetan padat seperti di Ibu Kota Jakarta. Karena mobil akan bertambah banyak yang digunakan dari mobil lama dengan mobil listrik baru yang beredar di jalan-jalan.
“Karena dengan beli mobil baru, tidak mengurangi mobil lama, karena bukan konversi atau bukan penggantian. Jadi asap emisinya tetap akan ada,” tukasnya.
Karding menegaskan, uang negara yang digunakan untuk subsidi kendaraan listrik itu hanya terbuang tanpa tepat sasaran. Dengan angka subsidi motor listrik Rp7 juta dan mobil listrik Rp80 juta dan bila satu orang membeli mobil listrik sebanyak satu juta, maka subsidi yang dikeluarkan pemerintah sangat besar.
“Sehingga mobilnya bertambah banyak, dan jalanan pun tambah macet,” tegasnya.
Ia memaparkan, kebijakan subsidi kendaraan listrik motor dan mobil dalam transisi energi fosil ke green energy (EBET) merupakan kebijakan yang terburu-buru dan tidak menarik.
Bahkan, menurutnya, kebijakan subsidi kendaraan listrik itu akan membuat ledakan jumlah motor dan mobil di Indonesia dan tidak dapat mengurangi polusi udara yang diharapkan. Sehingga kebijakan ini perlu dikaji ulang.
Karding mendorong PLN untuk mengawal transisi energi fosil ke EBET sesuai dengan Undang-Undang (UU) EBET, karena ke depan akan banyak kendaraan didorong untuk melakukan transisi energi.
“PLN sudah berusaha mendorong itu, tetapi saya ingin gambaran lebih nyata langkah-langkah konkret PLN dalam konteks soal energi baru terbarukan ini,” pungkasnya. (Shiddiq)