Beranda Asosiasi Pertambangan Mengintip Peluang dan Tantangan Pertambangan dan Industri Nikel di 2023

Mengintip Peluang dan Tantangan Pertambangan dan Industri Nikel di 2023

3813
0
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey. Foto: Nikel.co.id/Syafia

NIKEL.CO.ID, 8 Desember 2022-Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menyampaikan pandangan peluang dan tantangan pertambangan dan industri pengolahan nikel di Indonesia di 2023. Peluangnya besar, namun tantangannya pun tidak mudah.

Saat menyampaikan materi di 2023 Indonesia Nickel Outlook Conference: ’Unlocking Nickel Values in EV Battery Boom’ yang diselenggarakan Petromindo di Hotel JW Marriot, Jakarta, Kamis (8/11/2022), Meidy Katrin Lengkey  sekilas menyampaikan kondisi pertambangan dan industri hilir nikel yang terjadi di Indonesia.

Beberapa poin penting yang disampaikan, di antaranya terkait jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebelum ada SK Pencabutan 2.078 IUP, jumlahnya ada 338 IUP. Sesudahnya tersisa 286 IUP. Sebaran IUP ada di Kalsel 2 IUP, Sulteng 98 IUP, Sulsel 5 IUP, Sultra 122 IUP, Maluku Utara 42 IUP, Maluku 2 IUP, Papua Barat 4 IUP, dan Papua 1 IUP.

“Jumlah IUP ini mungkin akan bertambah, karena beberapa perusahaan pertambangan yang IUP-nya dicabut sedang melakukan proses keberatan, di antaranya melalui proses hukum ke PTUN,” kata Meidy Katrin Lengkey.

Meidy Katrin Lengkey mengkhawatirkan jumlah IUP Nikel yang tidak sebanding dengan jumlah industri hilir pengolahan nikel akan mengganggu supply chain bahan baku nikel ke smelter.

Ia juga menanggapi terkait gugatan Uni Eropa di sidang panel WTO. Dituturkan, Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali menerapkan kebijakan larangan ekspor raw material bijih nikel. Sempat diberlakukan di 2017 kemudian dibuka ekspor kembali, lalu diberlakukan larangan ekspor kembali di akhir 2019.

Ketika pemberlakuan larangan ekspor berjalan di 2020, belum berdiri pabrik hidrometalurgi berteknologi HPAL yang mengolah bijih nikel kadar rendah atau limonit.

“Artinya, untuk bijih nikel kadar rendah belum memiliki demand di dalam negeri. Di satu sisi, kita sebagai pelaku atau pengusaha menyayangkan pemerintah bahwa bijih nikel kadar rendah ini sampai kapan akan terus terbuang. Di sisi lain, kita sudah tidak mendapat kesempatan untuk mendapatkan benefit, karena adanya kebijakan larangan ekspor raw material nikel,” kata Meidy Katrin Lengkey.

Seiring berjalannya waktu, sejak 2020 sampai sekarang sudah berdiri 43 pabrik pirometalurgi yang mengolah bijih nikel kadar tinggi atau saprolit dan empat pabrik hidrometalurgi yang mengolah limonit. Pabrik pirometalurgi menghasilkan produk turunan nikel seperti nikel pig iron dan feronikel. Sedangkan pabrik hidrometalurgi menghasilkan HMP yang diolah kembali menjadi nikel sulfat sebagai bahan baku prekursor untuk komponen baterai kendaraan listrik.

“Perhitungan kami, dari 4 pabrik hidrometalurgi yang sudah berdiri di tahun ini, di tahun depan akan mengkonsumsi limonit 23 juta ton per tahun. Nanti akan berdiri lagi 6 pabrik hidrometalurgi, sehingga jumlahnya 10 pabrik hidrometalurgi. Jadi, demand limonit sudah ada untuk pabrik. Kebutuhan limonit sekitar 50 juta ton per tahun,” tuturnya.

Tak hanya itu, berdasarkan data APNI dari jumlah pabrik yang sudah beroperasi, tahap konstruksi, dan perencanaan jumlahnya 136 pabrik. Jika semua pabrik itu sudah beroperasi diperkirakan akan mengkonsumsi lebih dari 400 juta ton bijih nikel.

Melihat begitu masifnya pabrik pirometalurgi, pemerintah kabarnya memberi kesempatan kepada para investor untuk membangun pabrik hidrometalurgi untuk mendukung program baterai kendaraan listrik.

“Banyak media bertanya kepada saya jika Indonesia kalah di sidang panel WTO, apakah raw material nikel akan ekspor kembali. Saya katakan, mungkin saja kembali dilakukan ekspor. Mengapa? Lihat saja perbedaan harga nikel internasional dibandingkan harga nikel lokal,” tuturnya.

Dirinya mengutarakan, selama ini dalam penentuan Harga Mineral Acuan (HMA) sebagai dasar perhitungan Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel di dalam negeri, pemerintah masih mengacu kepada salah satu bursa di Eropa, yang dihitung berdasarkan rata-rata tren harga nikel di bursa itu selama dua bulan ke belakang. Ketika pemerintah menetapkan HPM Nikel di dalam negeri yang  mengacu kepada bursa di negara itu potongannya sampai 45%.

“Artinya, harga nikel internasional jauh lebih tinggi dibandingkan harga nikel lokal,” ujarnya.

Media juga bertanya dukungan APNI untuk Indonesia. Dia menegaskan, tentu saja APNI mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia, termasuk dalam pengembangan industri hilir pengolahan nikel. Karena, semakin banyak industri hilir, maka peluang penyerapan bijih nikel dari para penambang pun semakin besar.

Menurutnya, suksesnya industri hilir harus diimbangi dengan kondisi di hulu. Mulai dari pembenahan tata kelola pertambangan, tata niaga nikel, dan persoalan lain yang masih dihadapi di hulu.

Dalam sesi penyampaian materi, Meidy Katrin Lengkey juga menyampaikan usulan kepada pemerintah untuk membuat ketentuan HPM Limonit dan kandungan lain yang menyertainya, seperti kobalt. Karena, limonit dan unsur kobalt sudah ada demand dari pabrik hidrometalurgi sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. (Red)