NIKEL.CO.ID, 1 Desember 2022-Direktur Grup Kebijakan dan Koordinasi Departemen Makroprudensial Bank Indonesia, Mal Isnaini SM Yanti mengungkap, perbankan di Indonesia dominan memberikan pinjaman modal usaha pertambangan di hulu. Pembiayaan perbankan belum banyak masuk ke hilir. Apa pasal?
Mal Isnaini YM Yanti mengutarakan, berdasarkan hasil focus group discussion (FGD) dengan pihak perbankan dan hasil asesmen BI, terungkap ada berbagai tantangan dalam melakukan pembiayaan hilirisasi. Pertama, masalah expertise. Proyek hilirisasi itu pada umumnya full teknologi dan tidak banyak perbankan di Indonesia yang mempunyai expertise untuk melakukan penilaian terhadap obyek hilirisasi.
Menurutnya, kondisi ini membutuhkan bidang yang expert serta dukungan dari tenaga konsultan untuk dapat menilai kelayakan proyek hilirisasi, baik dari sisi ketersediaan dan keberlangsungan bahan baku, teknologi yang digunakan, infrastruktur yang dimiliki, hingga ketersediaan dan keberlangsungan demand produk hilirisasi. Yang terpenting adalah analisis dampak lingkungan dari proyek hilirisasi.
“Perbankan juga mengalami hambatan dari sisi eksekusinya. Umumnya orang tahu proyek hilirisasi berjangka panjang, padahal dari sisi komposisi pendanaan jangka pendek. Artinya, jangka pendanaan dari perbankan untuk jangka pendek digunakan untuk jangka panjang akan ada banyak risiko. Salah satunya risiko dari nilai tukar, karena pada umumnya proyek hilirisasi didanai kredit valas,” tutur Isnaini dalam sebuah seminar nasional di Bandung, Rabu (30/11/2022).
Ia mengatakan, kondisi saat ini pemberian modal untuk hilirisasi, dalam hal ini smelter pengolahan pertambangan, didominasi pembiayaan dari luar negeri dibandingkan dari perbankan di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan perbankan di Indonesia untuk dapat membiayai proyek hilirisasi.
Kendati demikian, BI melihat bukan berarti tidak ada peluang untuk membiayai proyek hilirisasi. Berdasarkan kajian BI, korporasi yang melakukan hilirisasi ternyata mampu menarik investor dibandingkan korporasi yang tidak melakukan hilirisasi.
Artinya, jelas Isnaini, perbankan Indonesia melihat korporasi yang melakukan proses hilirisasi memiliki prospek yang bagus untuk dibiayai perbankan.
“Namun, melihat ada tantangan yang tidak ringan bagi perbankan, tentunya perbankan harus pintar-pintar mencari celah masuk proyek hilirisasi tersebut. Jadi, tidak mesti langsung membiayai proyek hilirisasi secara utuh, namun bisa mengambil dari sisi upstream atau mindstream. Jadi, dari sisi penyediaan bahan baku, produk olahan, atau bahkan kegiatan-kegiatan yang mendukung distribusi dari output hilirisasi tersebut,” paparnya.
Ia menyarankan, jika salah satu perbankan tidak mampu melakukan pendanaan, ada beberapa mekanisme atau skema yang dapat dilakukan. Umumnya adalah sindikasi kredit bersama-sama dengan perbankan lain, baik secara domestik maupun dengan perbankan asing. (Syalom/Syarif)