Beranda Berita Nasional Menteri Bahlil Lahadalia: 115 IUP akan Dipulihkan di Tahap Kedua

Menteri Bahlil Lahadalia: 115 IUP akan Dipulihkan di Tahap Kedua

1010
0
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia saat konferensi pers terkait perkembangan investasi di Indonesia

NIKEL.CO.ID, 27 September 2022-Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia menyampaikan, dari 700 perusahaan yang melakukan upaya keberatan atas pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP), sekitar 83 sampai 90 izin sudah dipulihkan di tahap pertama. Kemudian, 115 izin akan dipulihkan di tahap kedua.

Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia menggelar konferensi pers, Senin (26/9/2022), tentang perkembangan evaluasi pencabutan 2.078 IUP yang telah dilakukan Tim Satgas Percepatan Investasi. Dari 2.078 izin yang dicabut, sebanyak 700 perusahaan melakukan upaya keberatan.

Berdasarkan proses pengecekan tahap pertama, Tim Satgas Percepatan Investasi melakukan proses pengecekan terhadap 213 perusahaan. Hasilnya, sekitar 83 sampai 90 izin perusahaan dipulihkan kembali oleh Tim Satgas Percepatan Investasi.

Di tahap kedua, disampaikan Bahlil Lahadalia, dilakukan pengecekan terhadap 219 izin, Tim Satgas Percepatan Investasi menilai perusahaan pertambangan yang memenuhi syarat dalam proses pemulihan izin sebanyak 115 perusahaan.

“115 izin ini lebih banyak (pertambangan) galian C, yaitu pengusaha-pengusaha UMKM di daerah, harus kita kembalikan sebagai wujud komiten pemerintah bahwa dari awal kita melakukan pencabutan ini dalam rangka penataan,” kata Bahlil.

Menteri Bahlil menegaskan,  jika perusahaan melakukan prosedur yang benar, tentunya IUP yang telah dicabut itu harus kembali dipulihkan. Pemerintah jangan pula berbuat zalim pada perusahaan.

“Jadi, yang tidak betul, tidak memenuhi apa yang menjadi kaidah dan norma serta tujuan dalam pemberitan izin,  itu yang kita lakukan pencabutan,” tegasnya.

Ia mengutarakan, dari 700 perusahaan yang melakukan keberatan, sekarang sekitar 300 perusahaan akan dilakukan proses pengecekan di tahap ketiga. Diharapkan akan selesai pada September ini.

Namun, sambungnya, karena banyak perusahaan tersebut dari daerah-daerah, tentu membutuhkan waktu untuk melakukan proses pengecekan terhadap 300 perusahaan tersebut.

Bahlil memperkirakan, “Kemungkinan besar paling lambat di minggu kedua bulan Oktober akan selesai”.

Sebelumnya, pada Jumat (12/8/ 2022), Menteri Bahlil mengumumkan telah mencabut 2.065 IUP atau 98,4 persen dari 2.078 IUP yang akan dicabut pemerintah yang sudah dilakukan sejak Februari 2022. Total areal yang dicabut seluas 3.107.708,3 hektare (ha). Breakdown dari izin-izin tersebut adalah batubara sebanyak 306 IUP atau 909.413,5 ha, timah 307 IUP atau 445.352,8 ha, nikel 106 IUP atau 182.094,9 ha, emas 71 IUP atau 544. 728,9 ha, bauksit 54 IUP atau 356.328,1 ha, tembaga 18 IUP atau 70. 633 ha, dan mineral lainnya 1.203 IUP atau 599.126,2 ha.

Menurutnya, proses pencabutan izin-izin ini ada dua kriteria, yaitu berdasarkan banyaknya IUP dan luasan wilayah IUP. Berdasarkan wilayah, pertama Kalimantan Barat, kedua Kalimantan Timur, ketiga Kepulauan Bangka Belitung, keempat Kalimantan Tengah, dan kelima Papua. Sementara berdasarkan IUP yang dicabut, pertama Kepulauan Bangka Belitung, kedua Kalimantan Barat, ketiga Jawa Timur, keempat Kalimantan Tengah,  dan kelima Kalimantan Timur.

Pandangan APNI

Sementara itu, Sekteratis Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendukung program pemerintah dalam hal percepatan investasi di sektor pertambangan. Pemerintah sedang menarik investor, baik PMDN maupun PMA untuk membangun industri hilir pertambangan, khususnya pengolahan bijih nikel untuk memberikan nilai tambah.

Menurutnya, seiring maraknya berdiri industri pengolahan bijih nikel, maka kebutuhan komoditas ini semakin meningkat. Berdasarkan data APNI, di 2022 kebutuhan bijih nikel untuk industri hilir sekitar 120 juta ton per tahun, dan di 2025 diperkirakan meningkat menjadi 250 juta ton bijih nikel per tahun.

Namun Meidy Katrin Lengkey mengkhawatirkan jika banyak IUP nikel yang dicabut oleh Tim Satgas Percepatan Investasi suplai bijih nikel dari pelaku pertambangan di hulu ke hilir akan terganggu.

Meidy Katrin Lengkey mengutarakan, sebelum ada pencabutan IUP oleh pemerintah, di Indonesia ada 338 IUP nikel dengan luas lahan sekitar 883 ribu hektare yang tersebar di wilayah Indonesia timur. APNI tak menafikan sejak dilakukannya pencabutan IUP oleh pemerintah, para pengusaha pertambangan nikel merasa tersandera.

“Karena, ada juga tindakan pencabutan IUP tersebut dilakukan secara tiba-tiba, tanpa konfirmasi dan prosedur yang berlaku. Bahkan ada ketidaksingkronan antara Kementerian ESDM yang masih memberikan surat teguran, namun Kementerian Investasi/BKPM malah sudah memutuskan mencabut IUP,” ungkap wanita yang kerap menjadi pembicara terkait pembangunan industri nikel Indonesia di dalam dan luar negeri.

Meidy Katrin Lengkey menunjukkan aturan proses pencabutan IUP jelas-jelas sudah teruang dalam UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 119 undang-undang ini menyatakan: IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri jika:

a. Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau

c. Pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

Dasar pencabutan IUP pun, lanjutnya, juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No.96 Tahun 2021. Pasal 185 PP ini menyatakan tentang sanksi administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

1. Peringatan tertulis.

2. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan, eksplorasi atau operasi produksi, dan/atau

3.Pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan.

Dalam pencabutan IUP nikel oleh pemerintah, ada 112 perusahaan pertambangan nikel yang IUP-nya dicabut. Atas pencabutan IUP tersebut, banyak juga yang melakukan upaya keberatan, di antaranya ada yang melakukan upaya hukum gugatan ke PTUN.

“Kementerian Investasi/BKPM mencabut IUP berdasarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. Beleid ini tidak singkron dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Lebih tinggi mana undang-undang dengan Keppres?” tanyanya.

Meidy Katrin Lengkey juga memaparkan kendala perusahaan pertambangan nikel yang pelaporan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) sebagai syarat melanjutkan proses IUP hingga akhirnya ditolak atau dicabut oleh pemerintah. Berdasarkan catatan APNI, kendala-kendala yang dihadapi pelaku hulu antara lain ketika mengajukan IPPKH belum disetujui KLHK, karena kuotanya sudah tidak ada.

“Di sini tidak make sense, IUP tetap ada, kita tetap bayar landrent, tapi tidak bisa berproduksi karena tidak dapat IPPKH,” ungkapnya.

Kendala lain, lanjutnya, soal perizinan pelabuhan, pembebasan lahan dengan masyarakat pemilik lahan, ada sengketa lahan, internal konflik manajemen, dan persoalan kelengkapan dokumen RKAB.

Menurutnya, melihat kondisi yang dihadapi perusahaan pertambangan nikel saat ini, APNI ikut turun tangan membantu memberikan solusi dan pencerahan. Untuk mendukung usaha pertambangan nikel, APNI mencoba membantu pemerintah dan para pengusaha melalui program Traine of Trainers (ToT) tentang cara penyusunan dan pelaporan RAKB, Pajak/PNBP Pertambangan, Teknik Lingkungan/Pacatambang/Amdal, OSS, LKPM, dan Perizinan-BKPM yang telah diselenggarakan pada 12 hingga 15 September 2022 di Jakarta.

Sebelumnya APNI telah menyelenggarakan CPI Nikel yang memberikan pendidikan dan pelatihan bagi calon Competent Person Indonesia (CPI) untuk Pelaporan Hasil Eksplorasi (PHE) Sumberdaya dan Cadangan Nikel sesuai dengan Kode KCMI 2017.

“APNI rencananya dalam waktu dekat akan menyelenggarakan program Trainer of Trainers kembali, namun berkaitan dengan teknis kajian dan analisa dalam penentuan quality dan quantity nikel,” ujarnya.

Menyinggung banyak ditolak atau dikembalikan pengajuan RKAB perusahaan nikel oleh Kementerian ESDM, disebutkan Meidy Katrin Lengkey ada beberapa faktor. Pertama, perusahaan belum atau tidak terdaftar di MODI. Kedua, perusahaan tidak memiliki persetujuan dan dokumen studi kelayakan. Ketiga, jumlah tonase permohonan RKAB ada ketidaksesuaian dokumen dengan studi kelayakan dan Amdal. Keempat, dokumen permohonan tidak melampirkan perhitungan sumberdaya dan cadangan.

“Inilah yang kami minta kepada pemerintah agar pengusaha diberikan kepastian dan kejelasan tentang proses pengurusan perizinan berusaha bidang pertambangan. Apalagi sejak peraturan perizinan dari provinsi ditarik ke pusat banyak menimbulkan kebingungan para pengusaha. Sebelumnya, ketika perizinan dari kabupaten ditarik ke provinsi juga mengalami kendala,” tuturnya.

Dengan sistem digital saat ini, para pengusaha diminta mendaftarkan proses perizinan dengan sistem online, sehingga para pengusaha pertambangan tidak bisa berkonsultasi terkait kendala-kendala perizinan yang dihadapinya. Mereka hanya bisa wait and see menunggu laporan, apakah perizinannya diterima atau ditolak. (Fia/Syarif)

Artikulli paraprakNikel Diprediksi Menjadi Komoditas Primadona Sepanjang 2022
Artikulli tjetërHarga Nikel Terguncang dengan Kenaikan Indeks Dolar AS