NIKEL.CO.ID, 20 September 2022- Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) berpandangan tata kelola perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara ada beberapa yang harus direformulasikan. Apa saja?
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey menjelaskan, sejak dibentuk 6 Maret 2017 oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, dalam perjalannya APNI sudah melaksanakan ratusan program untuk mendukung pembangunan industri nikel di Indonesia. Selain APNI juga sudah memperjuangkan HPM Nikel untuk kadar tinggi (saprolit) melalui Permen ESDM No.11 Tahun 2020.
Untuk mendorong pendapatan perekonomian Indonesia, APNI mendorong diberlakukannya kebijakan pemungutan royalti kepada industri hilir, yang sebelumnya hanya dibebankan kepada pelaku hulu pertambangan nikel.
“Kami saat ini juga sedang berjuang ditetapkannya HPM Nikel kadar rendah atau limonit, karena kebutuhannya sudah sangat meningkat seiring sudah berdirinya tiga pabrik pengolahan raw material untuk pemrosesan baterai listrik,” kata Meidy Katrin Lengkey saat menjadi pembicara di FGD bertema “Reformasi Tata Kelola Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral Logam dalam Rangka Memperbaiki Iklim Investasi di Indonesia” via virtual, Senin (19/9/2022).
Meidy Katrin Lengkey menyampaikan, sebelum ada pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Kementerian Investasi/BKPM, di Indonesia ada 338 IUP Nikel dengan luas lahan sekitar 883 ribu hektare yang tersebar di wilayah Indonesia timur.
APNI tak menafikan sejak dilakukannya pencabutan IUP oleh pemerintah, para pengusaha pertambangan nikel merasa tersandera. Karena, ada juga tindakan pencabutan IUP tersebut dilakukan secara tiba-tiba, tanpa konfirmasi dan prosedur yang berlaku. Bahkan ada ketidaksingkronan antara Kementerian ESDM yang masih memberikan surat teguran, namun Kementerian Investasi/BKPM malah sudah memutuskan mencabut IUP.
Meidy Katrin Lengkey menunjukkan aturan proses pencabutan IUP jelas-jelas sudah teruang dalam UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 119 undang-undang ini menyatakan: IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri jika:
a. Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau
c. Pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.
Dasar pencabutan IUP pun, lanjutnya, juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No.96 Tahun 2021. Pasal 185 PP ini menyatakan tentang sanksi administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
1. Peringatan tertulis.
2. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan, eksplorasi atau operasi produksi, dan/atau
3.Pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan.
Dalam pencabutan IUP nikel oleh pemerintah, ada 112 perusahaan pertambangan nikel yang IUP-nya dicabut. Atas pencabutan IUP tersebut, banyak juga yang melakukan upaya keberatan, di antaranya ada yang melakukan upaya hukum gugatan ke PTUN.
“Kementerian Investasi/BKPM mencabut IUP berdasarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. Beleid ini tidak singkron dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Lebih tinggi mana undang-undang dengan Keppres?” paparnya.
Ia menjabarkan terkait kendala perusahaan pertambangan nikel yang pelaporan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) sebagai syarat melanjutkan proses IUP hingga akhirnya ditolak atau dicabut oleh pemerintah. Berdasarkan catatan APNI, kendala-kendala yang dihadapi pelaku hulu antara lain ketika mengajukan IPPKH belum disetujui KLHK, karena kuotanya sudah tidak ada.
“Di sini tidak make sense, IUP tetap ada, kita tetap bayar landrent, tapi tidak bisa berproduksi karena tidak dapat IPPKH,” ungkapnya.
Kendala lain soal perizinan pelabuhan, pembebasan lahan dengan masyarakat pemilik lahan, ada sengketa lahan, internal konflik manajemen, dan persoalan kelengkapan dokumen RKAB.
Untuk mendukung usaha pertambangan nikel, Meidy Katrin Lengkey melanjutkan, APNI mencoba membantu pemerintah dan para pengusaha melalui program Traine of Trainers (ToT) tentang cara penyusunan dan pelaporan RAKB, Pajak/PNBP Pertambangan, Teknik Lingkungan/Pacatambang/Amdal, OSS, LKPM, dan Perizinan-BKPM yang telah diselenggarakan pada 12 hingga 15 September 2022 di Jakarta.
Sebelumnya APNI telah menyelenggarakan CPI Nikel yang memberikan pendidikan dan pelatihan bagi calon Competent Person Indonesia (CPI) untuk Pelaporan Hasil Eksplorasi (PHE) Sumberdaya dan Cadangan Nikel sesuai dengan Kode KCMI 2017.
Menanggapi banyaknya ditolak atau dikembalikan pengajuan RKAB perusahaan nikel oleh Kementerian ESDM, disebutkan Meidy Katrin Lengkey ada beberapa faktor. Pertama, perusahaan belum atau tidak terdaftar di MODI. Kedua, perusahaan tidak memiliki persetujuan dan dokumen studi kelayakan. Ketiga, jumlah tonase permohonan RKAB ada ketidaksesuaian dokumen dengan studi kelayakan dan Amdal. Keempat, dokumen permohonan tidak melampirkan perhitungan sumberdaya dan cadangan.
“Inilah yang kami minta kepada pemerintah agar pengusaha diberikan kepastian dan kejelasan tentang proses pengurusan perizinan berusaha bidang pertambangan. Apalagi sejak peraturan perizinan dari provinsi ditarik ke pusat banyak menimbulkan kebingungan para pengusaha. Sebelumnya, ketika perizinan dari kabupaten ditarik ke provinsi juga mengalami kendala,” tuturnya.
Dengan sistem digital saat ini, para pengusaha diminta mendaftarkan proses perizinan dengan sistem online, sehingga para pengusaha pertambangan tidak bisa berkonsultasi terkait kendala-kendala perizinan yang dihadapinya. Mereka hanya bisa wait and see menunggu laporan, apakah perizinannya diterima atau ditolak.
FOB versus CIF
Lebih jauh Meidy Katrin Lengkey menjelaskan tentang transaksi jual-beli nikel yang saat ini sudah dikonsumsi 31 pabrik olahan lokal nikel. Terdiri dari 27 pabrik pirometalurgi yang mengolah saprolit dan 3 pabrik hidrometalurgi untuk limonit.
Disampaikan, APNI memang telah memperjuangkan HPM Nikel. Namun, realisasi pelaksanaannya di lapangan belum maksimal. Contohnya, HPM Nikel Juni 2022 untuk kadar 1,8% dan Mousture Content (MC) 35%, maka HPM Nikel US$ 66,80 per wmt.
Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, HPM Nikel ini berdasarkan prinsip FOB. Jadi, para penambang nikel membayar kewajiban seperti royalti dan PPh Badan Usaha berdasarkan transaksi jual-beli nikel berdasarkan FOB. Namun, pada pelaksanaannya smelter menggunakan harga yang berlaku berdasarkan sistem CIF, sehingga penambang nikel harus mengeluarkan biaya tambahan bongkar barang di pelabuhan yang dituju.
Kondisi lain, para penambang ketika ingin menjual nikel harus melalui jalur trader. Berdasarkan catatan APNI, perusahaan trader di Indonesia sekitar 1500 perusahaan. Dan banyak juga perusahaan smelter memiliki anak usaha di bidang jasa trader. Di sisi lain, perusahaan tambang tidak bisa menjual langsung ke smelter, jadi melalui trader. Di sini muncul pertanyaan, siapa yang lebih banyak mendapat keuntungan dari transaksi jual-beli nikel?
Itulah sekelumit sudut pandang APNI dari sekian banyak problema yang dihadapi pelaku pertambangan nikel di Indonesia yang perlu direformulasi oleh pemerintah. (Chiva/Syarif)