
Oleh: Laode Ida *)
BEBERAPA waktu lalu saya dikontak oleh seorang sahabat, menginformasikan pelayanan yang tidak berkepastian di Kementerian Perhubungan RI terkait dengan usulan perusahaannya untuk memperoleh izin Pemanduan dan Penundaan Kapal di Perairan Molawe (Konawe Utara, Sultra). Semula saya tak tertarik dan tak peduli, karena saya menganggap menyangkut urusan pebisnis yang kalah bersaing. Saya kira biasa saja
Namun setelah beberapa kali diskusi dan pada saat yang sama juga saya coba cari info dari lapangan, ternyata keluhan itu sangat substansial dan menggugah nurani ‘merah putih berbasis kearifan lokal’ saya. Mengapa? Ternyata hal itu merupakan dampak dan sekaligus potret praktik monopolistik dari geng smelter nikel yang beroperasi di kawasan Sulawesi, khususnya Sultra dan Sulteng.
Bukan sekadar tidak memberi ruang kepada potensi lokal untuk memperoleh bagian dari bisnis smelter yang dikuasai oleh modal asing itu melainkan juga menyingkirkan kekuatan lokal yang sudah beroperasi dan menggantungkan hidupnya dari bisnis di perairan Molawe itu. Menurut saya, praktik seperti itu tak boleh dibiarkan, dan pejabat pemerintah terkait harus sadar atau perlu disadarkan.
PT Haji Dini Perkasa (HDP), sebuah badan usaha swasta milik putra lokal yang sudah resmi sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP) sudah jauh hari atau lebih awal beroperasi dalam melayani kegiatan pemanduan kapal dan sudah memperoleh rekomendasi resmi dari Kantor Syahbandar Molawe. Bahkan menurut catatan administrasi, HDP justru membayar PNBP (pendapatan negara bukan pajak) progresif antara 20-23%. Singkatnya, sebagai BUP milik putra lokal, HDP telah berkontribusi pada negara melalui kerja profesionalnya dalam memberikan pelayanan jasa dalam operasi pemanduan kapal di perairan Molawe.
Namun keberadaan HDP itu nampaknya akan disingkirkan oleh kekuatan geng smelter nikel yang beroperasi di Konawe. Boleh jadi izin resminya tidak akan keluar, karena bisnis itu pun akan diambil alih oleh perusahaan milik orang-orang tak terpisahkan dengan gerbong pemilik atau pengelola smelter nikel itu. Bahkan, konon, untuk menyingkirkan HDP pihak geng smelter memanfaatkan salah seorang mantan Menteri Perhubungan untuk mempengaruhi ‘para penentu di Kemenhub’, yang tujuannya sudah pasti yakni agar pelayanan ‘pandu dan tunda’ di perairan Molawe ditangani oleh perusahaan ‘milik geng smelter’ di mana sang Mantan Menhub menjadi orang penting di dalamnya.
Bukan saja itu, perusahaan milik geng smelter pun diinformasikan telah lebih jauh masuk pada usaha atau kegiatan TKBM (tenaga Kerja Bongkar Muat). TKBM milik koperasi masyarakat lokal, sulit mendapat izin atau tidak diberi izin. Ini luar biasa. Dengan keberadaan smelter yang sering sangat dibanggakan, ternyata pada tingkat tertentu sangat memprihatinkan, karena pemilik dan pengelola smelter tidak puas dengan mengeksploitasi sumberdaya alam dengan keuntungan yang begitu ‘wah’, melainkan juga (melalui geng bisnisnya) secara sistematis tanpa sadar sudah menyingkirkan atau tak memberi ruang pada potensi lokal dana tau sumberdaya manusia lokal untuk ikut berbisnis memanfaatkan smelter itu.
Pola dan jaringan bisnis smelter nikel memang selalu memberi prioritas keuntungan pada geng bisnisnya. Lihat saja pola pengadaan ore nikelnya. Yang pegang kendali adalah ‘authorized buyer/trader’, yakni orang-orang di badan pemilik dan pengelola smelter. Hampir tak ada orang lokal yang diberi kepercayaan untuk suplai ore nikel. Umumnya para pemodal dari luar daerah, bahkan sebagian datang dari luar negeri seperti dari China dan Hong Kong. Para trader itu meraup keuntungan tidak kurang dari US$ 5 per-metrik ton. Keuntungan para penambang semakin kecil, sehingga dampaknya pun tak bisa dihindari yakni kerusakan lingkungan akibat tidak direklamasi. Dan masuk akal, bagaimana mungkin penambang membiayai reklamasi sementara keuntungannya sudah sangat tipis.
Semua itu belum termasuk kepemilikan IUP nikel dan atau jenis mineral lainnya termasuk juga batubara. Cobalah buka data resmi, siapa yang menguasai IUP-IUP minerba itu di Indonesia ini. Mungkin tak akan terkejut lagi, karena sudah diketahui yakni orang-orang dari luar daerah bahkan dari luar negeri. Dan sudah jamak kalau terjadi jual beli dokumen di mana para pemilik IUP-nya langsung memperoleh uang yang begitu banyak dan orang-orang lokal tak peroleh apa-apa.
Tepatnya, para warga lokal hanya jadi penonton ketika sumberdaya alam di sekitar mereka dieksploitasi dan atau diperjualbelikan oleh orang-orang dari luar daerah atau dari luar negeri. Inilah wujud nyata praktik bernegara, yang jika dikaji lebih dalam niscaya substansinya bertentangan dengan pesan para pendiri negara ini yang dituangkan dalam konstitusi. Padahal semua tahu bahwa sumberdaya alam dan lingkungan adalah harta bangsa sekarang ini yang menjadi bagian dari hak substansial generasi muda. Hanya saja, sangat aneh karena kalangan anak-anak muda yang terdidik pun sepertinya tak kian sadar dengan proses peniadaan hak-hak dan masa depan mereka itu.
Apa yang mau dikatakan di dalam catatan ini, saya mengajak para pengambil kebijakan baik jajaran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk berkontribusi dalam menjadikan warga lokal ‘diorangkan’ dalam proses eksploitasi sumberdaya alam. Pertama, khusus terkait dengan pengelolaan Perairan Molawe dan juga barangali di tempat lain yang ada smelter nikelnya, Menteri Perhubungan harusnya memastikan agar mengeluarkan kebijakan yang tidak memapankan gurita monopoli geng smelter, melainkan juga harus berwatak ‘kearifan lokal’. Apalagi seperti HDP yang sudah BUP di mana sudah menunjukkan kinerja profesionalnya, harusnya jadi priorias untuk dibina dan dikembangkan.
Kedua, pihak pemerintah daerah harusnya lebih peka terhadap hak-hak warga lokalnya, jangan sampai hanya memberi karpet merah kepada smelter nikel dan gengnya, sementara tidak sadar kalau posisi masyarakat dengan hak-haknya sedang dimarjinalisasi secara sistemik.
*) Laode Ida: Anggota DPD RI tahun 2004-2009 dan 2009-2014; Wakil Ketua Ombudsman RI 2016-2021
Sumber: panjikendari.com