NIKEL.CO.ID – Harga sejumlah komoditas tambang sedang membubung tinggi atau mengalami tren super siklus, mulai dari batu bara, emas, nikel, hingga tembaga. Meski harga sedang naik tinggi, namun ternyata tak lantas membuat pengusaha bakal menaikkan produksinya.
Hal tersebut disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Association/IMA) Djoko Widajatno Soewanto.
Menurutnya, sangat sulit menaikkan produksi dalam waktu dekat karena beberapa alasan.
Pertama, pengusaha pertambangan bekerja atas dasar Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) di mana RKAB harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah.
“Kedua, operasi produksi direncanakan atas dasar cadangan yang tersedia,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (19/05/2021).
Kemudian, faktor ketiga adalah mengubah teknik penambangan berarti mengubah rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang. Setiap perubahan, imbuhnya, harus terlebih dahulu mengajukan uji kelayakan (Feasibility Study/ FS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Menurutnya, butuh waktu lama untuk bisa mendapatkan persetujuan perubahan tersebut.
“Pada umumnya, akan sangat sukar menambah jumlah peralatan tambang, karena dari proses pemesanannya sampai alat tiba, harga sudah berubah lagi,” ujarnya.
Dan faktor terakhir menurutnya yaitu faktor keekonomian dan teknis harus menjamin tingkat keselamatan yang tinggi dan juga memenuhi persyaratan lingkungan.
Seperti diketahui, harga sejumlah komoditas mineral kini sedang membubung tinggi. Nikel misalnya, Harga nikel sejak akhir tahun lalu hingga kini terus menanjak naik di atas US$ 16.000 per ton. Di awal 2021 harga nikel di London Metal Exchange sebesar US$ 17.344 per ton, lalu terus menanjak hingga akhirnya menembus rekor tertinggi pada 22 Februari 2021 yang mencapai US$ 19.689 per ton.
Meski setelahnya turun kembali, namun rata-rata masih berkisar US$ 16.000-an per ton dan pada Mei ini menunjukkan adanya perbaikan kembali. Pada perdagangan kemarin, Selasa (18/05/2021), harga nikel menyentuh US$ 18.142 per ton, meningkat dari sehari sebelumnya, Senin (17/05/2021) yang sebesar US$ 17.723 per ton.
Begitu juga dengan tembaga, Di awal Mei 2021, tepatnya tanggal 6 Mei 2021, harga tembaga di London Metal Exchange (LME) tembus di level US$ 10.025 per metrik ton (MT).
Tak berhenti di situ, harga tembaga terus saja naik, bahkan pada tanggal 10 Mei pekan lalu sempat menyentuh US$ 10.724,5 per MT, meski pada 14 Mei harus turun ke level US$ 10.212 per MT. Pada perdagangan kemarin, Selasa (18/05/2021), harga tembaga kembali naik menjadi US$ 10.465 per ton.
Dalam jangka panjang harga tembaga digadang-gadang masih akan terus menunjukkan tren positif. Harganya berpotensi menyentuh US$ 20.000 per MT di 2025. Proyeksi ini berdasarkan analisis Bank of America (BofA), seperti dilansir dari CNBC International.
Begitu pun dengan emas, di mana pada perdagangan kemarin, Selasa (18/05/2021), harga emas di LME menyentuh US$ 1.867,5 per troy ons.
Momen kenaikan harga semestinya bisa dimanfaatkan perusahaan untuk berinvestasi di proyek hilirisasi, seperti smelter untuk komoditas mineral, sejalan dengan program hilirisasi pemerintah. Namun nyatanya, hal ini tak langsung dilakukan pengusaha, kenapa?
Saat ditanya apakah ini waktu yang tepat untuk berinvestasi di sisi hilir di tengah kenaikan harga, Djoko mengatakan, ini tidak bisa serta merta dilakukan. Dia beralasan, adanya pendemi Covid-19 sejak 2020 lalu, banyak pengeluaran terkait dengan protokol kesehatan di lapangan.
“Belum dapat diprediksi, sehubungan dengan pandemic Covid-19 banyak pengeluaran untuk protokol kesehatan operasi di lapangan untuk tahun 2020, rata-rata ekstra berkisar 40 million, ini kesempatan untuk menutupi pengeluaran tersebut,” paparnya.
Memang, naiknya harga komoditas tambang menjadi kesempatan bagi RI untuk mendapatkan cuan besar-besaran di sektor tambang. Bagaimana tidak, ratusan juta ton batu bara, jutaan logam nikel, ratusan ribu ton katoda tembaga dan puluhan ton emas ditargetkan diproduksi setiap tahunnya. Bahkan, kebanyakan komoditas tambang tersebut masih diekspor.
Tahun ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara mencapai Rp 39,01 triliun, naik tipis dari realisasi penerimaan negara pada 2020 yang sebesar Rp 34,65 triliun.
Dengan terus membubungnya harga hampir di semua komoditas tambang, baik batu bara, emas, nikel, dan tembaga membuat realisasi penerimaan negara hingga awal Mei ini tercatat sudah mencapai separuh dari target, tepatnya Rp 19,15 triliun atau 48,97% dari target satu tahun ini.
Namun, untuk jangka panjang, keuntungan yang diperoleh dari kenaikan harga saat ini lebih baik jika dioptimalkan untuk berinvestasi hilirisasi, sehingga ketika harga komoditas semakin membubung, nilai tambah dari produk tambang yang dijual juga semakin berlipat-lipat dan tentunya akan memiliki efek berganda bagi perekonomian sekitar tambang dan nasional.
Sumber: CNBC Indonesia