NIKEL.CO.ID – Sebelum membangun smelter di suatu negara, ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan. Pertama, ketersediaan biji nikel dan jenisnya.
Misalnya, kalau biji nikel yang tersedia punya kadar Ni rendah (limonite) maka tidak ekonomis untuk membangun smelter jenis RKEF. Karena butuh energi listrik yang sangat tinggi sementara nilai jual produknya rendah. Kadang unsur pengotor sperti Si (silicon), Al (aluminum), P (phosphorus) harus dibersihkan juga. Untuk itu smelter blast furnace (BF) bisa menjadi pilihan.
Beberapa kegagalan smelter RKEF disebabkan karena komposisi kimia dari biji nikel di negara tersebut. Ratio SiO2/MgO menjadi penting karena untuk menjaga fluiditas dari slag yang keluar dari tungku.
Semakin tinggi rasionya, semakin kental slagnya. Ini tentu tidak diinginkan karena akan membentuk gumpalan-gumpalan di dalam tungku. Kadar Fe yang tinggi juga menjadikan tantangan bagi smelter RKEF untuk beroperasi secara ekonomis.
Kalau begitu adakah alternatif teknologi selain RKEF dan BF yang bisa dipakai untuk mengolah biji nikel kadar rendah? Jawabannya tentu ada.
Syaratnya ada kemauan untuk tidak terpaku pada tekonologi yang ditawarkan oleh negara tertentu. Teknologi the reduction roasting-magnetic separation (RRMS) bisa menjadi pilihan. Selain ramah lingkungan juga berbiaya rendah. Ini bisa menjadi topik tersendiri untuk dibahas.
Kedua, produk hilirisasi seperti apa yang dapat diserap oleh industri sekitar? Di China banyak sekali smelter BF yang menghasilkan Nickel Pig Iron (kandungan nikel yang rendah).
Hal ini karena banyak industri yang membutuhkannya untuk membuat produk stainless steel kualitas rendah seperti untuk peralatan rumah tangga. Kalau tidak ditopang oleh industri hilir ini maka kemungkinan besar smelter BF tidak akan ekonomis untuk didirikan. Selain harga NPI yang rendah dalam pengolahannya juga butuh batubara (coke sebagai reduktor) yang harganya mahal dan berfluktuasi. Mungkin saja terjadi subsidi silang antara perusahaan smelter dengan industri hilirnya.
Beda dengan China, industri di Jepang lebih membutuhkan produk smelter dengan nikel kadar tinggi seperti FeNi. Hilirisasi disana fokus kepada memberi nilai tambah untuk memproduksi stainless steel kualitas tinggi seperti untuk turbine blade dan mesin mobil.
Oleh karenanya smelter RKEF lebih ekonomis untuk dibangun di Jepang. Ini adalah simbiosis. Dimana perusahaan smelter mendapat jaminan bahwa FeNi mereka akan ada pasarnya, sementara industri hilirnya mendapatkan FeNi dengan harga kompetitif.
Bagaimana sebuah negara yang tidak punya industri pendukung untuk hilirisasi produk nikel? Tentu membangun smelter adalah sebuah kemajuan.
Namun nilai tambahnya terbatas. Semakin panjang rantai hilirisasi dari sebuah produk, tentu akan semakin besar manfaat ekonomi yang didapat. Banyak negara berlomba-lomba untuk memanfaatkan kekayaan alamnya dengan memperpanjang rantai hilirisasi. Caranya bangun industri hilir sebanyak-banyaknya dan bangun ekosistem yang saling mendukung.
Industri hilir disini bisa jadi adalah industri dasar dimana negara seperti Jerman, Inggris, Jepang adalah negara yang sangat maju dibidang ini.
Pertanyaan selanjutnya, teknologi pengolahan nikel seperti apa yang cocok untuk menghasilkan mineral yang bisa dipakai untuk baterai? Apakah teknologi BF, RKEF dan RRMS bisa menghasilkan mineral yang dimaksud? (Arcandra Tahar, Mantan Wakil Menteri ESDM)
Sumber: ruangenergi.com