APNI, Jakarta – Proses industrialisasi mineral harus diawali dari proses hilirisasi atau disebut dengan downstream. Kegiatan pertambangan di sektor hulu yang pengelolaan selanjutnya akan ditarik ke hilir disebut sebagai kegiatan hilirisasi. Kegiatan ini disebut sebagai hilirisasi pertambangan mineral. Hilirisasi belum bisa atau belum dapat disebut sebagai bagian dari industrialiasasi. Hal ini disampaikan oleh Rachman Wiriosudarmo dalam kegiatan Kuliah Khusus Pertambangan seri 6, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, di Jakarta, 1/10/2020.
Menurut Rachman Wiriosudarmo, jika digambarkan bahwa sumber daya mineral yang ada di dalam perut bumi Indonesia, kemudian dieksplorasi, lalu dapat diolah atau ditambang. Kegiatan tersebut disebut sebagai kegiatan proses ekstraksi. Kegiatan pertambangan itu ada berupa penambangan dan juga konsentrasi biji. Kegiatan ini merupakan salah satu bagian dari proses hilirisasi.
Lebih lanjut dikatakan Rachman Wirisudarmo, proses hilirisasi memiliki dua tujuan, yaitu peningkatan kegunaan dan peningkatan nilai jual. Peningkatan nilai jual memiliki perspektif atau cara pandang korporasi. Cara pandang korporasi dapat dilihat dari suatu barang yang diproses agar memiliki nilai lebih tinggi atau sering addict value. Bila nilai barangnya sudah mencapai lebih tinggi, maka selanjutnya akan dijual dengan pendapatan lebih besar.
Sementara bila mengacu pada cara pandang negara maka tujuannya untuk peningkatan kegunaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatannya disebut sebagai proses industrialisasi. Dalam proses peningkatan kegunaan, hal tersebut dimaksudkan untuk menyiapkan bahan baku. Tujuannya agar kita memiliki kemandirian bahan baku. Sebagaimana diketahui, tujuan hilirisasi dalam undang-undang itu agar terdapat peningkatan nilai mineral logam bila dijual, diekspor diharapkan bisa menghasilkan devisa lebih baik, pajak lebih baik, dan lain sebagainya. Jadi tidak ada cara lain untuk mendorong peningkatan nilai tambah yang maksimal selain melakukan hilirisasi.
Peningkatan kegunaan ini juga dimaksudkan untuk menuju Indonesia mandiri dalam hal bahan baku untuk kebutuhan industri lebih luas. Rachman mencontohkan kalau bahan baku sudah ada, terus diolah untuk kebutuhan industri lainnya, seperti industri manufaktur, baik dalam skala besar atau skala kecil (UKM). Kegiatan dalam industri manufaktur kemudian dapat berkembang dan diperdagangkan. Perdagangan industri manufaktur dalam skala besar dapat diarahkan untuk kegiatan ekspor. Sementara kegiatan perdagangan industri yang sifatnya skala kecil diperuntukkan untuk kebutuhan pasar domestik.
Lebih lanjut, Rachman Wiriosudarmo mengatakan bahwa proses hilirisasi akan menghasilkan komoditi barang yang sangat dibutuhkan oleh industri. Namun dalam perkembangannya, penyerapannya sangat kecil dalam pasar domestik. Inilah kemudian menimbulkan dilema karena setelah dilakukan proses hilirisasi yang terjadi kemudian pasar domestik tidak memberikan respon positif. Sehingga dilemanya berujung pada dilakukannya export secara terus menerus.
Hal tersebut tentu akan berakibat pada sumber daya mineral menjadi habis. Seperti yang terjadi dalam kandungan timah yang kita miliki. Jika suatu saat kita butuh maka kebijakan yang dikeluarkan adalah impor. Sementara kalau dibiarkan dalam tanah, kita memiliki cadangan timah banyak. Tapi di sisi yang lain negeri kita juga butuh devisa dan pajak.
Rachman Wiriosudarmo menambahkan bahwa dalam proses industrialisasi mineral seharusnya mendorong agar sumber daya mineral memiliki keunggulan daya saing. Selain itu kita perlu memiliki kebijakan yang mendorong kemandirian bahan baku. Proses tersebut dalam kegiatan industrialisasi sebagai bagian dari global value chain.
Adapun untuk mencapai industrialisasi mineral menurut Rachman Wiriosudarmo, memerlukan visi, strategi, prinsip dan juga konsep. Misalnya untuk mewujudkan industrialisasi mineral diperlukan kebijakan regulasi secara prioritas seperti eksplorasi, teknologi, prasarana, sumber daya manusia, dan stimulus. Selain itu juga diperlukan integrasi peran yang dapat melaksanakan tujuan tersebut. Dengan begitu ada daya saing yang dapat menarik investasi untuk mendukung kebutuhan industri.
Lebih lanjut dikatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah pilihan lokasi investasi hilir. Menurutnya terdapat dua pilihan lokasi investasi hilir, yaitu dekat tambang atau dekat pasar. Bila investasi ini dilakukan dekat tambang maka terdapat keunggulan dukungan infrastruktur, aspek regulasi, lingkungan sosial, dukungan politik, serta sektor tenaga kerja.
Adapun bila investasi hilir dibangun dekat pasar maka ada kepastian jangka panjang, dekat dengan perubahan pasar, namun ada ancaman terhadap pasokan bahan baku, teknologi tersimpan dan efisiensi terjaga. Dalam sesi tanya jawab, salah seorang peserta menanyakan terkait dengan mengapa barang impor lebih banyak diminati dari pada barang lokal padahal dalam segi kualitasnya tidak jauh berbeda? Ada pula pertanyaan terkait dengan kenapa mineral konsentrat yang ditambang di Indonesia lebih banyak dieksport dalam jumlah besar, seperti yang dilakukan oleh Freeport?
Menurut Rachman Wiriosudarmo, rasa kebanggaan kita untuk membeli produk dalam negerik ini sangat kurang. Terkait dengan produk mineral kosentrat diekspor, menurutnya, industri manufaktur kita masih kurang. Sehingga harus digerakkan oleh pemerintah agar menyerap hasil tambang Beragam pertanyaan yang muncul mendorong Rachman Wiriosudarmo bersemangat memberikan tanggapannya.
Misalnya pertanyaan terkait dengan kebijakan hilirisasi, terdapat konflik kepentingan antar Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian perihal siapa yang memiliki wewenang pengelolaan. Menurut bapak, bagaimana sebaiknya kebijakan hilirisasi ini dikelola? Menurutnya, pemerintah kita saat ini masih memiliki sektoral. Ego sektoral masih sangat tinggi. Kedepannya perlu ada integrasi antar kementrian agar saling mendukung untuk mewujudkan visi industrialisasi mineral.
Sumber: PUSHEP