NIKEL.CO.ID, 29 September 2022—Membangun sumber daya alam (SDA) Indonesia tak hanya bersinggungan dengan elemen ekonomi, sosial, dan budaya. Namun dibutuhkan kesamaan pandangan politik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta produk peraturan sebagai payung hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA.
Wacana tersebut mencuat dalam bahasan webinar bertema: Tantangan dalam Membangun Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Pascaglobaliasi, yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Rabu (28/9/2022).
Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Undip, Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H, M.Hum, memaparkan tentang Globalisasi dan Tantangan Pembangunan Politik Hukum Sumber Daya Alam dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan. Dalam konteks tersebut, dia menjelaskan tentang konsepsi nilai-nilai relasi manusia dalam lingkungan hidup dan SDA, dan adanya aspek antologis dan perspektif manusia terhadap lingkungan hidup dan SDA dalam pandangan global dan tingkat nasional.
Dalam perspektif global, menurutnya, terdapat tiga aliran, yaitu Ecopasis, Ecopopolis, dan Ecodevelompmentalis. Ecopasis secara sederhana dijelaskan lingkungan dan SDA lebih utama daripada manusia, Ecopopolis terkait lingkungan dan SDA untuk kesejahteraan manusia, sedangkan Ecodevelompmentalis adalah keseimbangan kelangsungan hidup antara SDA dan manusia.
“Dalam perspektif nasional, kalau kita lihat berdasarkan Pancasila, seperti pandangan hidup bangsa, maka kita bisa menemukan satu nilai bahwa tidak dapat dipisahkan satuan hidup bangsa Indonesia dengan tanah airnya,” jelasnya.
Menurutnya, manusia dan lingkungan hidup merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya ada politik hukum yang merupakan kebijakan yang disusun berdasarkan latar belakang filosofi yuridis dan sosiologis. Kedua filosofi ini menjadi pedoman noramatif dalam pembuatan regulasi.
“Jadi politik hukum bisa juga dikatakan prinsip hukum, yaitu sesuatu hal yang tidak dapat dilanggar,” kata Prof. Adji Samekto.
Praktisi Pertambangan, Dr. Ida Sumarsih, S.H, M.Kn, memaparkan materi berjudul Praktik Nomine Agreement sebagai Tantangan dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia. Dalam paparanya, dia mengungkap bahwa SDA milik Indonesia yang dikuasi oleh negara untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana yang sudah diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Semua perundang-undangan yang mengatur SDA dan merupakan turunan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, juga bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Namun, menurutnya, dalam perspektif sosiologis keberadaan hukum dipengaruhi faktor ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama. Sehingga menurut pendapatnya dalam sektor pertambangan banyak terjadi kompromisasi di dalam penerapan hukum di sektor pertambangan.
Ia juga menyoroti produk turunan peraturan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 untuk pertambangan mineral dan batubara mengenai Skema Divestasi Saham yang merupakan wujud nasionalisasi di bidang pertambangan dan diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba.
“Badan usaha pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham sebesar 51% secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan/atau Badan Usaha swasta nasional,” jelasnya.
Peraturan lain, yaitu Pasal 2 Permen ESDM No. 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Divestasi Saham disebutkan pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dalam rangka PMA, setelah 5 tahun sejak berproduksi wajib melakukan Divestasi Saham secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh peserta dari Indonesia.
Menurutnya, adanya pembatasan kepemilikan saham asing pada pertambangan minerba melalui skema divestasi, menyebabkan sebagai pemilik modal ingin mendapatkan jaminan rasa aman dalam berinvestasi. Rasa aman tersebut dituangkan dalam pembuatan Nominee Agreement.
Sedangkan Nominee Agreement sendiri, ungkapnya, diketahui telah ada larangan di dalam Pasal 33 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dikatakan, penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.
“Selain itu juga ada ketentuan di Pasal 48 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, di mana saham perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya,” jelasnya.
Sedangkan fakta yang ada di bidang usaha pertambangan minerba, lanjutnya, saat ini diketahui bahwa SDA hanya dapat memberikan manfaat apabila dikelola dan diolah. Namun, adanya keterbatasan modal dari investor lokal, sehingga diperlukan kehadiran investor asing dalam mengelola SDA. Yang terjadi, pengelolaan SDA di Indonesia dikuasai oleh investor asing.
“Mengapa sumber daya alam dikuasi oleh investor asing? Ini merupakan tantangan dalam sumber daya alam dari sisi modal, khusunya dikarenakan dalam pengelolaan SDA memerlukan high cost, high risk and high technology, serta adanya keterbatasan modal dan teknologi dari investor lokal dalam pengusahaan pertambangan baik hulu maupun industri hilir pertambangan minerba,” paparnya. (Fia/Editor: SBH)