Beranda Nikel Proses Nikel Murni Jadi Tantangan Bahan Baku Baterai Listrik

Proses Nikel Murni Jadi Tantangan Bahan Baku Baterai Listrik

3066
0
Proses pengolahan nike di smelter. Foto ilustrasi: istw

NIKEL.CO.ID, 29 September 2022 – Sekretaris Adidaya Intiative, Naufal Hanif Hawari ST, mengungkapkan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil nikel terbesar yang digunakan sebagai katoda baterai listrik. Namun, produksi baterai belum dilakukan secara terfokus karena sulitnya proses menjadi nikel murni.

Hal itu disampaikannya dalam acara webinar hasil kerja sama Mahagana ITS dengan Adidaya Intiativelalu dengan tema, Pro-Kontra Produk Nikel untuk Akselerasi EBT, belum lama ini.

“Untuk produksi baterai, Indonesia baru membangun smelter nikel di daerah Gresik, Jawa Timur yang diperkirakan menjadi yang terbesar di dunia,” kata Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknik Material Naufal seperti dikutip its.ac.od, Kamis (29/9/ 2022).

Menurut Naufal, salah satu permasalahan utama terkait produksi nikel untuk baterai di Indonesia adalah cara pemurnian yang berbeda dengan produksi baja anti karat.

Pemurnian nikel yang dibutuhkan untuk menjadi bahan baku pembuatan baterai mencapai 99,9 persen atau nikel murni.

“Nikel yang ada di Indonesia adalah laterit yang letaknya dangkal sehingga mudah ditambang, tetapi mengandung banyak kandungan lain sehingga sulit dimurnikan,” ujarnya.

Naufal menjelaskan, metode yang perlu dilakukan untuk pemurnian tersebut adalah High-pressure Acid Leaching (HPAL). Pada prinsipnya, proses ini dilakukan menggunakan tekanan tinggi dan mineral dicuci dengan asam sulfat secara kimiawi.

“Metode ini tidak mudah, diperlukan energi listrik dan sumber daya lain yang sangat banyak, seperti asam sulfat hingga 100 ton per hari,” jelasnya.

Naufal menuturkan, metode HPAL untuk pemurnian nikel agar dapat digunakan sebagai bahan baku utama baterai Li-Ion.

Indonesia Battery Corporation (IBC) sendiri membagi 3 tahap utama dalam produksi baterai Li-Ion di Indonesia. Tahap pertama, berfokus pada pembangunan pabrik, tahap kedua berfokus pada produksi untuk skala domestik, dan tahap terakhir berfokus pada produksi untuk skala global dan daur ulang.

“Daur ulang ini yang sering terlupakan padahal sangat penting perannya, Indonesia pun harus bisa melakukannya,” tuturnya.

Lebih lanjut, Naufal mengingatkan, ke depan Indonesia akan menghadapi pasar nikel yang sangat besar karena kebutuhannya yang sangat banyak terlebih Indonesia termasuk penyedia nikel terbanyak.

“Harapannya, nilai ekonomi nikel kita dapat menjadi lebih tinggi tidak seperti sekarang yang hanya sebatas baja anti karat,” lanjutnya.

Sebelumnya, Naufal mengungkapkan, produksi nikel di Indonesia tahun 2019 belum memfokuskan untuk memproduksi baterai Li-Ion.

Menurutnya energi yang dihasilkan oleh alam, seperti matahari perlu disimpan dalam bentuk baterai yang memiliki kapasitas tinggi, seperti baterai Li-ion agar tetap dapat digunakan kapan saja.

Indonesia saat ini sebagai negara pemilik kandungan dan cadangan bijih nikel terbesar di dunia. Sayangnya masih kesulitan dalam mengolah logam ini menjadi produk baterai siap pakai.

“Sebuah keuntungan bagi negara kita mengingat 51 persen produksi baterai merupakan katoda yang dapat berupa nikel,” pungkasnya. (Shiddiq)