NIKEL.CO.ID, Ketua Umum Perhapi, Rizal Kasli dan Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey mengusulkan kepada pemerintah agar dilakukan moratorium pembangunan pabrik pengolahan saprolit. Jumlah cadangan nikel kadar tinggi yang hanya 30% dibandingkan limonit sebesar 70%, dikhawatirkan mengganggu ketahanan cadangan nikel di Indonesia.
Wacana tersebut disampaikan Ketua Umum Perhapi, Rizal Kasli dan Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey ketika menjadi pembicara seminar bertema ‘Menilik Potensi Investasi dan Pengembangan Industri Nikel Indonesia’ yang diselenggarakan oleh Asosiasi Surveyor Minerba (Asmiba) dan PT Sigma Pratama Global di Jakarta, Kamis (6/10/2022).
Data USGS Januari 2020 menyebutkan kandungan nikel di Indonesia sekitar 11,7 miliar ton, dan cadangan nikel 3,5 miliar ton.
Menurut Ketum Perhapi, Rizal Kasli, nikel Indonesia berjenis laterit yang sebagian besar terdapat di Pulau Sulawesi dan Maluku. Nikel laterit terdapat dua jenis, yakni kadar tinggi atau saprolit dan kadar rendah atau limonit.
“Nikel saprolit diolah pabrik pirometalurgi yang sebagian besar produk akhirnya berupa nikel kelas dua, seperti ferronickel, nickel pig iron (NPI), dan nickel matte untuk stainless steel. Sedangkan limonit diolah pabrik hidrometalurgi yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipiate (MHP), yang sekarang dijadikan sebagai bahan baku baterai listrik,” kata Rizal Kasli.
Diutarakan, investasi asing di industri nikel sejak 2017-2022 untuk sektor hulu dan hilir. Di sektor hulu investasi asing pada Kuartal I tahun 2022 sebesar US$ 56 miliar, dan di sektor hilir US$ 1,962 miliar. Investasi di sektor hulu umumnya untuk kegiatan eksplorasi ore nikel. Sedangkan investasi di hilir untuk pengolahan ferronickel, NPI, dan nickel matter, dan pembangunan smelter.
Namun, Rizal Kasli ungkap jumlah pabrik pirometalurgi saat ini lebih banyak dibandingkan pabrik hidrometalurgi, sementara jumlah saprolit minoritas dibandingkan limonit. Karena itu, ia menyarankan pemerintah memoratorium investasi untuk pembangunan smelter dengan teknologi pabrik pirometalurgi. Pun jika ada investasi baru, bisa untuk membangun pabrik hidrometalurgi.
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyebutkan data terukur cadangan nikel Indonesia sebesar 4,6 miliar ton, terdiri dari cadangan saprolit sekitar 900 miliar ton dan cadangan nikel kadar rendah atau limonit 3,7 miliar ton.
“APNI memperkiraan ketahanan cadangan bijih nikel untuk pabrik pirometaurgi antara 7-8 tahun. Jika cadangan saprolit digunakan begitu banyak, apakah cadangannya mencukupi? tanyanya.
Berdasarkan sebaran pabrik olahan nikel yang diterima APNI dari provinsi, sudah ada 42 badan usaha yang beroperasi mengolah nikel. Yang sudah melakukan tahap konstruksi sebanyak 35 badan usaha, dan yang masih tahap perencanaan, seperti masih dalam proses pengurusan perizinan, pembebasan lahan atau syarat lainnya sebanyak 59 badan usaha.
“Badan usaha ini sudah terdaftar dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dikeluarkan Kementerian Investasi/BKPM, totalnya ada 136 badan usaha pengolahan nikel,” ujarnya.
Disebutkan, ke-136 badan usaha ini masing-masing terdapat di di Sulawesi Selatan 5 badan usaha, Sulawesi Tengah 65 badan usaha, Sulawesi Tenggara 28 badan usaha, Maluku Utara 25 badan usaha, Papua Barat 2 badan usaha, Kalimantan Selatan 1 badan usaha, Banten 5 badan usaha, dan Jawa Timur 1 badan usaha pengolahan nikel.
Diperkirakan jumlah pabrik pengolahan nikel ini akan bertambah, karena ada beberapa perusahaan yang saat ini masih mengurus proses perizinan.
Sebaliknya, ungkapnya, jumlah IUP nikel justru semakin berkurang setelah ada SK pencabutan 2.078 IUP oleh pemerintah, yang dikhawatirkan akan mengganggu suplai nikel yang dibutuhkan 136 pabrik pengolahan nikel tersebut.
“Pembangunan pabrik nikel membutuhkan biaya besar. Jangan sampai mereka yang sudah berinvestasi besar di sektor hilir, nantinya kekurangn suplai bijih nikel dari pelaku hulu. Apakah kita akan impor bijih nikel dari luar negeri,” tuturnya.
Meidy Katrin Lengkey mengutarakan, saat ini sudah ada 38 badan usaha pirometalurgi yang melakukan kegiatan usaha pengolahan untuk produk NPI, ferronickel, dan nickel matte. Sedangkan pabrik hidrometalurgi sudah beroperasi sebanyak 4 badan usaha, 5 badan usaha dalam tahap konstruksi, dan 1 badan usaha dalam tahap perencanaan. Jadi, jumlahnya 10 badan usaha. Sementara, jika 136 pabrik pirometalurgi semuanya sudah beroperasi, diperkirakan membutuhkan lebih dari 413.764.000 ton saprolit.
“Satu pabrik saja minimal menggunakan 4 line tungku pengolahan nikel. Bahkan sudah ada yang menggunakan 6, 8, 18 sampai 30 line tungku. Jika satu pabrik menggunakan 4 line dengan kapasitas 33.000 KVA, meskipun sudah ada yang menggunakan kapasitas 42.000 dan 54.000 KVA, per line diperkirakan membutuhkan 821.000 ton bijih nikel per tahun. Sehingga 136 pabrik olahan itu membutuhkan lebih dari 400 juta,” paparnya.
Kebutuhan bijih nikel yang begitu, namun umumnya diolah pabrik pirometalurgi, Meidy Katrin Lengkey mengusulkan dilakukan moratorium pengolahan nikel kelas 2.
“Jika masuk investasi, sebaiknya digunakan untuk pabrik pengolahan nikel menjadi produk nikel kelas 1 atau pabrik yang memproduksi barang jadi,” sarannya.
Menurutnya, jika nikel diolah menjadi produk nikel kelas 1 atau menjadi barang jadi, maka nilai tambahnya semakin tinggi, dan akan membantu menopang pendapatan negara. (Red)