Beranda Berita Nasional Pentingnya Rekomendasi Ombudsman untuk Kepastian Iklim Investasi Pertambangan

Pentingnya Rekomendasi Ombudsman untuk Kepastian Iklim Investasi Pertambangan

507
0
dok, MNI

NIKEL.CO.ID, 8 April 2022-Pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara berharap Ombudsman melakukan kajian dan analisa terhadap kebijakan pemerintah yang mencabut 2.078 IUP. Rekomendasi Ombudsman penting untuk menjamin kepastian berinvestasi di Indonesia.

Sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan pemerintah pusat, maka izin pertambangan mulai dari skala kecil sampai skala besar sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak lagi memiliki urusan pemerintahan di bidang minerba.

Pemerintah pusat memiliki kajian, analisa, dan pertimbangan hingga akhirnya UU Minerba yang baru itu mencabut kewenangan pemerintah daerah terkait izin usaha pertambangan.

Bagi pelaku di sektor pertambangan, tentu berharap kehadiran UU No.3 Tahun 2020 muncul semangat baru untuk mendukung usaha pertambangannya. Terlepas dari adanya persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan pertambangan, baik bagi perusahaan yang sudah berjalan maupun yang ingin memulai usaha pertambangan.

Yang terjadi saat ini, harapan-harapan para pelaku usaha pertambangan ini malah sebaliknya. Pemerintah memastikan mencabut 2.078 IUP perusahaan pertambangan di luar 19 IUP non-pertambangan. Kebingungan pun mencuat, yang pemerintah memberikan kewenangan kepada Kementerian Investasi/BKPM untuk mengeluarkan SK Pencabutan IUP berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Suara-suara keberatan dan protes mekanisme yang dinilai melangkahi undang-undang ini dibahas dalam diskusi tentang Tata Kelola Izin Usaha Pertambangan yang diselenggarakan Ombudsman pada Kamis (7/4/2022) pukul 13.00 WIB.

Ervina F dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), misalnya, mengungkapkan banyak perusahaan pertambangan batubara terkendala pengurusan izin usaha. Beberapa perusahaan sedang di-suspend karena masih melengkapi persyaratan proses perizinan, tiba-tiba izinnya sudah dicabut Kementerian Investasi/BKPM.

“Kita sangat mengharapkan peran Ombudsman sebagai salah satu pemegang keputusan bahwa pencabutan izin tersebut bisa dilanjutkan atau bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari,” kata Ervina.

Ia mengutarakan, dalam kegiatan usaha, terkendala perizinan itu pasti ada, karena perizinan itu dinamis sekali. Ada kendala dari daerah, kebijakan pusat, jadi sangat bervariasi. Apalagi kadang perizinan pertambangan itu tumpang tindih dengan sektor perkebunan, kehutanan, dan industri lainnya.

“Karena itu, kami butuh dukungan pemerintah, dalam hal ini Ombudsman sebagai jembatan untuk menengahi permasalahan tersebut,” harapnya.

Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan bahwa penghentian kewenangan pemerintah daerah oleh pemerintah pusat sudah terjadi di 2012 di mana kewenangan pemerintah kabupaten sudah ditarik ke pemerintah provinsi. Ketika itu masih banyak kendala. Misalnya, banyak data yang kurang singkron dari kabupaten ke provinsi. Dampaknya, sangat merugikan para pelaku pertambangan nikel.

Ketika kewenangan pemerintah provinsi ditarik pemerintah pusat, permasalahan yang dihadapi pelaku pertambangan dirasakan semakin bertambah. Persisnya sejak diterbitkan Keppres No.1 Tahun 2022 yang dinilai tidak singkron dengan UU No.3 Tahun 2020 dan PP No.96 Tahun 2021 mengenai mekanisme pencabutan IUP.

Meidy mengatakan, sebelum muncul Keppres tersebut, sebanyak 332 perusahaan pertambangan nikel sedang berproses melengkapi dokumen dalam pengurusan Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB)—sebagai proses persetujuan IUP. Dari 332 badan usaha itu ada yang sudah membayar kewajiban-kewajiban seperti landrent untuk PNBP, ada yang sedang berproduksi namun tidak melakukan penjualan, lantaran sedang menunggu persetujuan RKAB. Tapi, tiba-tiba IUP mereka sudah dicabut pemerintah.

Ada juga perusahaan dari anggota APNI masih mendapat surat teguran sampai teguran ketiga di 14 Maret 2022 dari Kementerian ESDM untuk kelengkapan dokumen, kegiatan pasca tambang, dan reklamasi, tapi IUP-nya sudah dicabut oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM pada 7 Februari 2022.

Tak pelak, peraturan yang tumpeng tindih itu membuat para pengusaha pertambangan nikel dari APNI.

“Di sinilah posisi Ombudsman untuk menengahi adanya mall administrasi tata usaha negara dari pejabat-pejabat terkait. Karena kita pada dasarnya dalam melakukan proses pertambangan mengikuti peraturan perundang-undangan. Kami tidak tahu di atasnya undang-undang ini apa, jika ada Keppres yang tidak mengikuti dasar undang-undang. Satu sisi ada undang-undang, ada Peraturan Pemerintah, tapi tidak nyambung dengan Keppres,” papar Meidy.

Para pelaku usaha pertambangan, kata Meidy, juga mempertanyakan jaminan berinvestasi di sektor pertambangan nikel di dalam negeri. Padahal, nikel saat ini sedang dibutuhkan dunia tak hanya untuk bahan baku baterai listrik juga stainless steel. Harga nikel pun sedang tinggi.

Saat ini, kata Meidy, sudah ada 27 perusahaan lokal yang membangun pabrik pengolahan nikel. Pada 2025 diperkirakan kebutuhan bijih nikel sekitar 250 juta ton per tahun.

“Mungkin sekarang sudah ada seratusan IUP yang dicabut. Jika setengah saja izin pertambangan dicabut, dari 332 IUP, kita pertanyakan cadangan bijih nikel ini bagaimana jadinya. Pabrik akan kekurangan suplai bahan baku bijih nikel,” tuturnya.

APNI setuju dengan pemerintah mencabut perusahaan pertambangan nikel yang tidak melakukan produksi secara aktif yang berdampak tersanderanya sumber daya alam. Tapi, APNI membutuhkan penjelasan secara spesifik tentang kajian atau proses pencabutan IUP.

“Apakah pemerintah sudah mengkaji secara detail masing-masing kondisi perusahaan pertambangan. Misalnya, kajian tentang masih ada perusahaan yang belum mendapatkan izin kuota lantaran terkendala IPPKH. Bagaimana melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi jika belum mendapat izin IPPKH dari Kementerian Kehutatanan,” imbuhnya.

Meidy juga menyampaikan tentang Kepmen ESDM No.15 Tahun 2022 yang dikeluarkan pada 15 Januari 2022. Kepmen itu memberikan kesempatan kepada perusahaan pertambangan untuk melakukan proses pengaktifan IUP. Baik melalui jalur legal opinion dari Ombudsman, tentunya setelah dilakukan kajian dan penelitian, dan melalui PTUN.

Kepmen No.15 Tahun 2022 itu seolah tidak berarti, karena ada Keppres No.1 Tahun 2022. Meidy pun kembali bertanya, “Kepastian aturan itu seperti apa? Kita tahu ada UU, ada PP, tapi ada juga aturan baru yaitu Keppres yang tidak singkron dengan peraturan sebelumnya. Dan ini tentu saja mematikan dunia usaha pertambangan.”

Ia mengingatkan bahwa sebelum kewenangan pemerintah daerah ditarik ke pusat, persetujuan RKAB berlangsung lebih cepat tidak selambat setelah ditarik ke pusat. Padahal, persyaratan pengajuan RKAB sama dengan persyaratan setelah ditarik ke pusat.

“Kita sadari, mungkin tenaga evaluatornya terbatas. Dari ribuan dari IUP yang ada di 34 provinsi harus ditangani oleh pemerintah. Maka, ini perlu dievaluasi, bagaimana prosesinya pelimpahan ke pusat, pencabutan IUP, secepat apa kita mendapatkan RKAB, karena kita sudah membayar dan melengkapi persyaratan yang lain,” tambahnya.

Kebijakan seperti sekarang ini, menurutnya, jangankan membingungkan pihak asing yang ingin berinvestasi, pengusaha dalam negeri saja merasa tersandera dengan peraturan yang berubah-ubah. Karena tidak ada jaminan bagi pengusaha pertambangan nikel. (Syarif/Fia)

Artikulli paraprakHPM Nikel April Naik Dua Kali Lipat, Ini Tanggapan Pelaku Pertambangan Nikel
Artikulli tjetërLME Ketar Ketir Stok Logam Minim di Tengah Harga Tinggi