NIKEL.CO.ID, 26 September 2022-Pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan aspek keberlangsungan dan meminmalisir dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan. Maka, perlu dilakukan sosialisasi penerapan instrumen Life Cycle Assessment (LCA) kepada kementerian/lembaga terkait, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan sektor pertambangan Indonesia. Apa itu LCA?
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mendukung penerapan prinsip good governance dalam hal transparansi, berkeadilan, akuntabel, dan pelibatanmasyarakat, salah satunya di sektor pertambangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan komitmen tersebut, Kemenko Marves menyelenggarakan Talkshow bertema The Advantage of Life Cycle Assessment Implementation in Mining Industry, di Midplaza Hotel, Senin, 26 September 2022.
Talkshow yang dibuka Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan, Kemenko Marves, Septian Hario Seto, sekaligus mensosialisasikan penerapan instrumen Life Cycle Assessment (LCA) kepada kementerian/lembaga terkait, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan sektor pertambangan Indonesia.
Disampaikan, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup serta mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Untuk menjaga keberlangsungan lingkungan hidup di tengah pertumbuhan aktivitas industri, di dunia internasional berkembang satu metode yang mendukung hal tersebut, yakni LCA. Metode LCA bertujuan untuk mengidentifikasi, menghitung keberlanjutan sumber daya alam, pembungan pada lingkungan, serta mengevaluasi dan menerapkan kemungkinan perbaikan lingkungan.
Metode LCA memungkinkan dilakukan perkiraan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh suatu produk, proses atau aktivitas dengan melakukan identifikasi dan kuantifikasi energi serta material yang digunakan, baik limbah yang dilepaskan ke lingkungan selama siklus hidup produk, maupun dalam proses atau aktivitas operasional.
Prosedur LCA ini kemudian ditetapkan dunia internasional sebagai standar pengelolaan lingkungan, khususnya dalam ISO 14040 dan ISO 14044, yang memberikan standar terkait prinsip dan kerangka kerja, sementara ISO 14044 memberikan standar terkait persyaratan dan pedoman.
Indonesia kemudian mengadopsi metode ini sebagai bentuk komitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup melalui SNI ISO 14040 2016 dan SNI ISO 14044 2017. Selanjutnya metode LCA dijadikan syarat dalam penerapan Public Disclosure Program for Environmental Comliance (PROPER) atau Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Direktur Pengendalian Pencemaran Air, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, KLHK, Dra. C.H. Netty Widayati, M.T, salah satu pembicara di talkshow mengatakan, setiap tahun KLHK melakukan penilaian terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan terkait penerapan PROPER berdasarkan LCA. Penilaian dilakukan mulai tahap perencanaan usaha sampai tahap produksi pertambangan.
“LCA dasar untuk melakukan inovasi perusahaan dalam melakukan kegiatan usaha atau produksi maupun yang berhubungan langsung ke masyarakat. Penerapan LCA bagi perusahaan salah satunya bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja perusahaan,” kata Netty.
Diutarakan, kajian tentang LCA sudah dilakukan di Indonesia sejak 2007, kemudian Menteri KLHK mengeluarkan Permen LHK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Disampaikan, sampai saat ini sudah sekitar 289 perusahaan yang melakukan LCA. Bagi perusahaan yang sudah melakukan kajian dan penerapan LCA, mereka nantinya akan mengetahui bahan baku apa saja yang digunakan dalam kegiatan produksi yang dapat menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Sehingga, lanjutnya, perusahaan itu melakukan perbaikan-perbaikan untuk menurunkan dampak pencemaran lingkungan. Misalnya efisiensi dalam penggunaan air, mengurangi CO2, B3, dan lainnya.
Diungkapkan, untuk perusahaan pertambangan, sejauh ini baru sekitar 16 perusahaan yang melakukan LCA. Pun hanya perusahaan pertambangan di sektor hulu, belum ke industri hilir.
Ia menekankan untuk industri hilir, seperti pengolahan nikel untuk bahan baku katoda dan prekursor baterai listrik harus menerapkan LCA. Termasuk juga pabrik baterai listrik. Karena, baterai listrik yang digunakan kendaraan listrik (electric vehicle) suatu saat akan habis masa pakainya, sesudahnya akan menjadi limbah.
“Jadi, harus dipikirkan juga pengelolaan limbah-limbah baterai listrik ini,” kata Netty.
Talkshow juga menghadirkan pembicara Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kukuh S. Ahmad tentang standarisasi di sektor pertambangan, baik untuk keselamatan kerja hingga teknis pengelolaan dan produksi pertambangan.
Beberapa undangan khusus nampak hadir, mulai dari pihak Kemenko Marves, KLHK, BSN, direktur perusahaan pertambangan, serta ketua umum dan pengurus asosiasi. Dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia, nampak Ketum APNI, Komjen Pol. (P) Drs. Nanan Soekarna, dan Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey. (Syarif/Varrel)