NIKEL.CO.ID, 31 Oktober 2022-Koordinator Wilayah (Korwil) Sulawesi Tenggara, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), M. Fajar Hasan berharap jumlah pabrik pengolahan nikel di Sultra bertambah, tidak hanya di kawasan yang dikelola PT Virtue Dragon Nikel Industry (VDNI) di Kabupaten Konawe.
Selang beberapa hari dilantik sebagai Korwil Sultra APNI pada 6 Maret 2022, M. Fajar Hasan langsung membangun komunikasi dengan beberapa stakeholder APNI di Sultra. Salah satunya dengan Komisi III DPRD Provinsi Sultra yang membidangi pertambangan. Dalam pertemuan tersebut, dia menyampaikan keberadaan dan peran APNI di pusat dan daerah.
“Peran APNI sebagai sebagai mitra sekaligus mediator antara pelaku usaha pertambangan nikel dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pelaku industri pengolahan nikel di hilir,” kata pria yang akrab disapa Fajar kepada nikel.co.id, belum lama ini di Jakarta.
Sementara peran Korwil APNI, dijelaskan Fajar, melanjutkan tugas yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan APNI di daerah.
Menurutnya, pusat pertambangan umumnya ada di daerah, jadi penting dibentuk korwil-korwil APNI untuk mempermudah proses komunikasi antara pusat dengan daerah. Hubungan komunikasi APNI pun bukan sekadar dengan pelaku tambang saja, namun termasuk masyarakat di sekitar tambang, NGO seperti Walhi yang konsen mengenai lingkungan hidup dan habitat-habitatnya.
“Karena, aktivitas pascatambang pasti ada dampak yang ditimbulkan,” tukas Fajar.
Fajar menyampaikan, Sultra merupakan provinsi terbesar deposit nikel di Indonesia. Hanya saja, Fajar menyayangkan keberadaan pabrik pengolahan nikel di Sultra bisa dibilang masih sedikit. Kawasan industri pengolahan nikel terbesar hanya yang dikelola PT VDNI di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sultra.
Menurutnya, provinsi lain, seperti Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, yang notabene deposit nikelnya tidak sebanyak Sultra, justru sudah banyak berdiri pabrik pengolahan nikel.
Diutarakan, salah satu penyebab lambatnya pembangunan industri hilir nikel di Sultra lantaran kurangnya dukungan penuh pemerintah provinsi dan Pemda di masa kepemimpinan sebelum-sebelumnya.
“Mungkin juga karena kesiapan kita yang kurang. Pembangunan smelter di Sultra bukan hanya persoalan deposit nikel terbesar di Indonesia. Smelter juga melihat beberapa aspek, salah satunya kesiapan daerah. Khususnya political will daerah. Saya melihat political will pemerintah provinsi dan Pemda sebelumnya di Sultra kurang. Kedua, masyarakat sekitar dalam memberikan dukungan pembangunan smelter,” ungkapnya.
Fajar berpandangan, jika di Sultra banyak berdiri pabrik pengolahan nikel, maka ikut membantu pelaku usaha pertambangan nikel. Salah satunya, biaya transit menuju pelabuhan muat menjadi lebih dekat, sehingga lebih efektif dan murah.
Dari sisi pelaku pertambangan nikel, Fajar melihat sudah banyak perbaikan. Rekan-rekannya di perusahaan hulu mulai menerapkan pertambangan nikel good mining practice (GMP). Karena ujung dari GMP berkorelasi dengan pertanggung jawaban hukum pemegang IUP.
Fajar mengutarakan, sampai kapan pun pemegang IUP tidak bisa lari dari pertanggung jawaban dari usaha pertambangan yang dilakukan mereka. Apalagi soal reklmasi.
“Yang lain, pemilik IUP masih ada yang belum tahu kewajiban-kewajiban mereka, makanya tugas saya melakukan konsolidasi ke bawah. Sekarang sudah mulai dipahami teman-teman pelaku tambang di Sultra,” paparnya.
Butuh Pendampingan Pemerintah Pusat
Pria berberawakan sedang dan berkulit sawo matang ini mengimbau kepada pemerintah mengencangkan sosialisasi, pendampingan, dan pembinaan di sektor pertambangan nikel. Harapannya ini disuarakan terkait masalah dikeluarkannya Keppres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan IUP. Pasalnya, ada salah satu perusahaan pertambangan dia nilai sudah lengkap persyaratan dan dokumennya. Namun, di tengah melanjutkan pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2023, tanpa informasi pendahuluan dari pusat tiba-tiba IUP-nya dicabut.
“Saya sudah konfirmasi ke manajemen, dan mereka sudah melakukan langkah-langkah hukum, tapi tidak melalui jalur PTUN. Namun, jalur banding administrasi,” kata Fajar.
Fajar mengetahui, Kementerian Investasi/BKPM yang diberi kewenangan dalam pencabutan IUP, tetap memberikan ruang untuk melakukan banding bagi perusahaan yang IUP-nya dicabut. Fajar berharap pengajuan banding perusahaan itu diterima BKPM dan IUP-nya diaktifkan kembali.
“Kasihan karyawan perusahaan itu sekarang menganggur. Kalaupun ada kekurangan persyaratan atau dokumen, kan ada namanya pendampingan dan pembinaan dari kementerian atau lembaga terkait,” tambahnya.
Ia menekankan, jika perusahaan pertambangan yang dinilai masih kurang persyaratan harusnya dipanggil dan dikonfirmasih dulu. Untuk dilihat dan dipelajari kekurangan-kekurangannya. Pemerintah memberikan tenggat waktu untuk melengkapi persyaratan tersebut. Jika tidak dilengkapi, baru dicabut IUP-nya.
“Pemerintah wajib memberikan pendampingan. Tanpa secara normatif atau tidak ada komunikasi melalui email OSS, tidak ada sama sekali peringatan. Ini menjadi otokritik bagi pemerintah pusat. Kasihan teman-teman pengusaha di daerah,” tegasnya.
Sisi lain, Fajar meminta bagi perusahaan-perusahaan pemilik IUP jika memiliki banyak kekurangan persyaratan harus dipenuhi. Artinya, harus taat kepada peraturan yang berlaku.
Dirinya juga menyinggung tata niaga nikel. Menurutnya, dampak dari kenaikan BBM biaya produksi pertambangan di hulu ikut naik. Misalnya untuk biaya sewa peralatan pertambangan, biaya tongkang, dan lain-lain biayanya menjadi membengkak.
Sementara Harga Patokan Mineral (HPM) di domestik beberapa bulan ini trennya menurun. Sebagai Korwil Sultra APNI, dia menyampaikan harapan teman-teman di hulu supaya HPM itu bisa ditinjau kembali, bisa dinaikkan pemerintah pusat.
“APNI di pusat juga diharapkan menjadi mediator teman-teman pelaku pertambangan di daerah,” pintanya. (Varrel/Syarif)