NIKEL.CO.ID, 8 MEI 2023 – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan proyek pembangunan smelter PT Freeport Indonesia (PTFTI) dan PT Amman Mineral (PT Amman) harus diawasi tidak boleh ada keterlambatan. Jika masih terlambat harus diberikan sanksi tegas.
Seperti dikutip laman resmi dpr.go.id, Edy menyebutkan bahwa kedua perusahaan tambang itu telah mendapatkan relaksasi ekspor selama ini. Sehingga proyek smelter oleh kedua perusahaan harus diawasi secara ketat. TIdak boleh ada keterlambatan proyek ke depannya.
“Jika masih ada keterlambatan harus ada sanksi tegas dan tidak boleh ada lagi dispensasi yang diberikan,” tegas Ketua Komisi VII DPR RI, Edy sapaan akrabnya, Jakarta, Senin (8/5/2023).
Menurutnya, pemerintah selama ini telah memastikan adanya pemberian izin ekspor konsentrat tembaga untuk PTFI dan Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) hingga Mei 2024.
Kedua perusahaan tersebut telah mendapat izin ekspor meskipun larangan ekspor konsentrat tembaga mulai berlaku pada Juni 2023.
Adapun larangan itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Oleh karena itu, Eddy meminta kepada PTFI dan PT Amman untuk tidak ada lagi keterlambatan pembangunan proyek smelter.
Dia beralasan, kedua perusahaan tambang terkemuka itu telah mendapatkan kebijakan relaksasi ekspor dari pemerintah. Sehingga, perlu mendapatkan pengawasan ketat dari pemerintah untuk melanjutkan proyek smelter tersebut.
Ia menambahkan, dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) Nomor 3 Tahun 2020 memuat ketentuan soal adanya kemungkinan evaluasi kebijakan oleh Menteri ESDM terkait kebijakan ekspor mineral.
Selain itu, dalam Pasal 170A ayat 3 berbunyi, Ketentuan lebih lanjut mengenai penjualan produk mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ditambah, pemaparan Menteri ESDM Arifin Tasrif yang mengatakan bahwa evaluasi yang dilakukan salah satunya mempertimbangkan kelanjutan proyek smelter.
“Salah satu pertimbangan terpenting adalah adanya keterlambatan pembangunan smelter akibat Covid-19,” tambah Eddy.
Sementara, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai berbagai permasalahan terkait polemik perpanjangan izin ekspor tembaga PTFI oleh pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) menjadi inkonsistensi.
Oleh karena itu, Komisi VII DPR RI berniat untuk memanggil Menteri ESDM untuk meminta klarifikasi dan penjelasan perihal tersebut. Menurutnya, pemanggilan ini sangat penting untuk mengklarifikasi sejumlah hal.
“Termasuk tentang rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) sebagai dasar hukum perpanjangan izin ekspor tersebut,” kata Mulyanto.
Menurutnya, pemerintah lemah dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) nasional jika dilihat dari rencana pemerintah memperpanjang izin ekspor tembaga yang memiliki dua dimensi inkonsistensi.
“Dua dimensi inkonsistensi Pemerintah itu adalah dimensi kebijakan dan dimensi bentuk hukum kebijakannya sendiri,” cetusnya.
Dia menilai, kebijakan pemerintah yang inkonsisten ini berpotensi melanggar konstitusi yang mengamanatkan penguasaan SDA oleh negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Jika ekspor mineral mentah ini terus dibiarkan maka nilai tambah dari pengelolaan SDA akan dinikmati oleh bangsa lain,” imbuhnya.
Sementara, dia melanjutkan, rakyat hanya menerima sisa remah-remahnya saja. Hal ini menegaskan bahwa negara dengan kekayaan SDA yang berlimpah, namun rakyatnya tetap miskin, karena ekonominya bersifat ekstraktif.
Dia juga mengatakan, pemerintah telah inkonsisten karena selama ini mengglorifikasi program hilirisasi SDA, tetapi nyatanya menyerah terhadap desakan Freeport.
Bahkan, secara langsung kebijakan Pemerintah ini menabrak UU No.3/2020 tentang Pertambangan Minerba, khususnya pasal 170A, yang melarang ekspor mineral mentah sejak bulan Juni 2023.
Ia melihat kebijakan pemerintah itu juga diskriminatif dibandingkan dengan kebijakan untuk mineral lain seperti nikel. Dimana ekspor bijih nikel sudah sejak lama dilarang pemerintah.
Selanjutnya, Mulyanto menilai dari disi yang kedua adalah bentuk regulasi yang akan dikeluarkan Pemerintah.
Melalui Menteri ESDM pemerintah berencana akan mengeluarkan Permen (Peraturan Menteri), sebagai dasar hukum izin ekspor mineral mentah tersebut.
“Jika ini benar, yakni dasar hukum bagi izin ekspor konsentrat tembaga ini hanya berupa Permen (Peraturan Menteri), maka ini kan aneh. Masak Undang-undang dibatalkan dengan Permen. Undang-undang hanya dapat dibatalkan dengan Undang-undang juga,” paparnya. (Shiddiq)