NIKEL.CO.ID, 6 Oktober 2022 – Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Dr Haznan Abimanyu mengungkapkan bahwa Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) mengembangkan baterai untuk Electric Vehicle (EV) dalam rangka menurunkan emisi gas rumah sebagai komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon di tahun 2030 mendatang.
“Untuk itu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membuat suatu road map untuk menurunkan gas rumah kaca ini,” ucap Haznan dalam acara diskusi yang bertema Exploring New Battery Technologies and Battery Management System yang diadakan oleh GEM (Global Expo Management) pada hari kedua, di Gedung JIExpo Kemayoran, hari ini Rabu 6 Oktober 2022.
Haznan mengatakan, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan gas rumah kaca sebanyak 26 persen kalau dengan usaha sendiri. Sedangkan kalau dengan dukungan dari berbagai pihak itu mampu mencapai 41 persen dan tahun 2030 sudah tidak lama lagi waktunya.
Kemudian, Indonesia pada tahun 2025 akan memasuki masa transformasi EV dan pada saat itu akan mencapai sebesar 400.000 EV dan akan terus bertambah.
“Dimana Electric Vehicle ini makin lama makin bertambah dan semakin banyak, tentunya kita memerlukan tenaga untuk electric vehicle ini yaitu baterai,” ujarnya.
Haznan menuturkan, Indonesia memiliki rencana untuk menggantikan energi fosil dengan menggunakan energi selain fosil yaitu Electric Vehicle (EV).
“EV memang dari ESDM ini lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Tapi di nomor dua ini adalah BESS (Batterey Energy Storange System). Dimana kita mulai tahun ini tapi tidak begitu banyak. Tapi nanti lama kelamaan akan berkembang penggunaan energy battery stored system,” tuturnya.
Menurutnya, penggunaan Lithium BESS atau battery electric vehicle sebenarnya sebelum tahun 1990 sudah ada yang menggunakan. Tapi pada tahun 1991 perusahaan mobil SUN pertama kali memulai menggunakan baterai EV (BESS).
“Kemudian berkembang sampai sekarang ini, dan kita menuju kepada target 300KK(isi) untuk mencapai 250 miles jarak daripada kendaraan kita,” cetusnya.
Untuk baterai sebenarnya tidak hanya digunakan pada EV saja tapi juga bisa digunakan untuk energy stronge, energi untuk rumah, kantor dan produk elektronik lainnya.
Menurut hasil analisa dari segi permintaan (demand) ada beberapa faktor terutama pada spesifik energi yang aman dan biaya (cost) itu ada kunci teknologinya.
Pertama material packaging dan battery management system, dan ada lagi dari sisi teknologi yang lainnya.
Dari beberapa lithium baterai yang dianalisa untuk spesifik energi dan lifespend, terutama pada lithium nikel kobalt aluminum. Ditemukan lithium nikel mangan cobalt aluminium lebih tinggi. Namun untuk safety, yaitu safety dan lifespend itu lithium aero prospend itu lebih bagus.
“Dari ini kita lihat penggunaan baterei di EV itu mencapai 40% daripada semua cost. Dari EV production itu 40%-nya adalah Electric Vehicle Power Train dari EV train itu adalah baterai,” tuturnya.
Sedangkan dalam pengadaan battery cell untuk katodanya itu mencapai 51%. Katoda ini merupakan kunci dari pembuatan baterai tersebut.
Selanjutnya, Haznan menuturkan, untuk membuat baterai diperlukan tambang (mining), refinery atau bahan baku untuk EV, dan recycling.
Pembangunan dari teknologi baterai tersebut diperlukan katoda, anoda, elektrolit, separator yang telah berlangsung dari tahun 2010 sampai tahun 2025. Pada tahun 2025 akan bergerak kepada bahan lithium surfur, lithium R atau Zinc R dan lainnya.
Selain itu, menurutnya infrastruktur untuk persiapan penggunaan EV baik mobil dan motor telah dipersiapkan stasiun pengisian elektrik.
Selain stasiun pengisian charger system juga management system charger untuk para pengguna bisa mengisi di tempat yang memudahkan para penggunanya, dan bisa diakses menggunakan mobile. (Shiddiq)