Beranda Berita Nasional Miliki Cadangan Minerba Raksasa, Tata Kelola Indonesia harus Transparan dan Berkeadilan

Miliki Cadangan Minerba Raksasa, Tata Kelola Indonesia harus Transparan dan Berkeadilan

41
0
Bisman Bahtiar (Foto: Istimewa)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum pertambangan Bisman Bhaktiar, S.H., M.H., M.M. menegaskan bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) mineral dan batu bara yang termasuk terbesar di dunia, namun tata kelola dan mekanisme perizinannya masih membutuhkan perbaikan agar manfaatnya dapat dirasakan rakyat secara maksimal.

Hal itu dijelaskan Bisman kepada Media Nikel Indonesia (www.nikel.co.id), Kamis (4/12/2025), ketika dihubungi terkait data kekayaan cadangan minerba nasional, penerimaan negara, hingga perubahan regulasi terbaru di sektor pertambangan.

Ia merinci, Indonesia termasuk lima hingga tujuh besar dunia untuk sejumlah komoditas tambang. Indonesia tercatat memiliki:

  • Cadangan nikel nomor 1 dunia, dengan sumber daya bijih nikel mencapai 1.412 juta ton dan cadangan tertambang sekitar 485,33 juta ton;
  • Cadangan batu bara terbesar ke-5 dunia, dengan sumber daya sekitar 61,3 miliar ton dan cadangan tertambang sekitar 6,9 miliar ton;
  • Cadangan tembaga terbesar ke-7 dunia, memiliki sumber daya 68,11 juta ton dan cadangan tertambang sekitar 31,85 juta ton;
  • Cadangan timah terbesar ke-5 dunia, dengan sumber daya 0,622 juta ton dan cadangan tertambang 0,462 juta ton; dan
  • Cadangan emas terbesar ke-7 dunia, dengan sumber daya 6.369 ton dan cadangan tertambang 3.254 ton.

“Data ini menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi strategis dalam peta energi dan mineral dunia. Namun, besarnya cadangan belum tentu menghasilkan kemakmuran jika tata kelolanya tidak transparan dan berkeadilan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) ini juga menguraikan kontribusi minerba terhadap penerimaan negara. Ia mencatat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor minerba dari tahun ke tahun sebagai berikut.

  • 2020: Rp44,82 triliun (dari total APBN Rp2.233 triliun);
  • 2021: Rp75,5 triliun (APBN Rp2.750 triliun);
  • 2022: Rp183,3 triliun (APBN Rp2.714 triliun);
  • 2023: Rp173 triliun (APBN Rp3.121 triliun); dan
  • 2024: Rp121,7 triliun (APBN Rp3.325 triliun).
https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSduP18bwezfZTBgoUfLsyWqkK0zPBjEv6M3U5FYzhx7F6LTSQ/viewform

Ia menekankan bahwa penerimaan negara dari cukai jauh lebih besar dibanding PNBP minerba.

“Presentasenya bahkan mencapai 95%. Ini menunjukkan bahwa sektor minerba sesungguhnya masih punya ruang besar untuk optimalisasi,” katanya.

Ia mengutip pernyataan mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, yang mengatakan bahwa jika korupsi sektor tambang dapat diberantas, setiap warga negara dapat memperoleh Rp20 juta per bulan tanpa bekerja. Menurut dia, pernyataan tersebut menggambarkan besarnya potensi kebocoran pendapatan tambang yang belum tertangani.

Menurutnya, seluruh perizinan minerba kini wajib diajukan melalui sistem daring erizinan.esdm.go.id/minerba. Jenis izin yang diatur dalam UU 2/2025, UU 6/2023, dan PP 5/2021 meliputi:

  1. IUP;
  2. IUPK;
  3. IUPK Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian;
  4. IPR;
  5. SIPB;
  6. Izin Penugasan;
  7. Izin Pengangkutan dan Penjualan;
  8. IUJP; dan
  9. IUP untuk Penjualan.

Dia menjelaskan, Perpres 55/2022 memberikan pendelegasian izin kepada pemerintah provinsi untuk komoditas tertentu, seperti mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan, serta mencakup SIPB, IPR, izin pengangkutan–penjualan, IUJP, dan IUP untuk penjualan.

Ia juga menyoroti perbandingan WIUP prioritas antara UU Minerba 3/2020 dan UU 2/2025. Pada aturan terbaru, WIUP bisa diberikan langsung tanpa lelang tidak hanya kepada BUMN, BUMD, dan badan usaha ormas keagamaan, tetapi juga perguruan tinggi (kerja sama), UKM, serta badan usaha swasta.

https://event.cnfeol.com/en/event/339

Ia menilai perubahan ini memiliki empat pokok perubahan utama, yakni

  1. Semakin banyaknya pelaku usaha tambang;
  2. Hilirisasi dan ketahanan energi;
  3. Transparansi tata kelola; dan
  4. Kepastian hukum dan investasi.

Namun, dia mengingatkan sejumlah potensi dampak negatif, antara lain

  • Persaingan makin ketat;
  • Eksploitasi semakin masif;
  • Risiko menurunnya daya dukung lingkungan;
  • Potensi pasokan berlebih yang menekan harga;
  • Risiko fraud pada prioritas WIUP yang terkait hilirisasi; dan
  • Kebijakan DMO bagus untuk ketahanan energi, tetapi dianggap beban dari aspek perdagangan.

“Transparansi audit lingkungan sudah lebih baik, tetapi untuk aspek perizinan dan legalitas masih belum menunjukkan perubahan signifikan. Kepastian hukum terkait wilayah usaha cukup baik, namun aspek lain belum mengalami perbaikan mendasar,” tegasnya.

Indonesia, katanya menegaskan, memiliki potensi kekayaan tambang yang luar biasa, namun harus dikelola dengan prinsip transparansi, hukum yang kuat, dan keberlanjutan.

“Tanpa tata kelola yang baik, kekayaan alam hanya menjadi angka, bukan kesejahteraan bagi rakyat,” ujarnya. (Shiddiq)