Beranda Berita Nasional Tata Kelola Nikel Dinilai Tak Berubah, Fahmy: Nilai Tambah Masih Dinikmati China

Tata Kelola Nikel Dinilai Tak Berubah, Fahmy: Nilai Tambah Masih Dinikmati China

458
0
Fahmy Radhi (Foto: Istimewa)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pengamat ekonomi energi, Fahmy Radhi, menilai tata kelola sektor pertambangan nikel di Indonesia tidak menunjukkan perubahan signifikan pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Menurut Fahmy, praktik tata kelola saat ini masih melanjutkan pola pada era Presiden Joko Widodo, terutama terkait eksplorasi dan hilirisasi nikel yang dinilai lebih menguntungkan pengusaha asal China.

“Kalau saya mengamati sekarang, tata kelola ini tidak ada perubahan sama sekali sejak zaman Presiden Jokowi. Artinya, dia melanjutkan tanpa ada perbaikan yang cukup. Tata kelola nikel, baik eksplorasi maupun hilirisasi, tetap sama seperti sebelumnya dan itu lebih menguntungkan pengusaha China daripada Indonesia,” ujarnya melalui percakapan telepon kepada Media Nikel Indonesia (www.nikel.co.id), Rabu (3/12/2025).

Meski ekspor produk nikel meningkat, nilai tambah yang diterima Indonesia sangat kecil. Ia mencontohkan, tidak adanya pengenaan pajak maupun royalti terhadap smelter yang sebagian besar berasal dari China. Smelter tersebut hanya memproduksi turunan pertama dan kedua sebelum mengekspornya kembali ke China.

“Nilai tambahnya dinikmati China. Tidak ada perubahan sama sekali selama pemerintahan Prabowo yang berjalan saat ini,” katanya.

Ia menegaskan bahwa pelarangan ekspor bijih nikel mentah tidak otomatis menguntungkan Indonesia karena smelterisasi tetap didominasi perusahaan Cina.

“Yang diuntungkan dalam smelterisasi itu pengusaha China karena mereka mendominasi smelter. Mereka tidak mengembangkan ekosistem industri dari hulu sampai hilir,” ujarnya.

Smelter di Indonesia hanya mengolah bijih nikel menjadi produk seperti nickel pig iron (NPI), matte, atau MHP. Produk tersebut kemudian diekspor ke China untuk diolah lebih lanjut hingga menjadi komponen baterai kendaraan listrik.

“Di Indonesia tidak ada proses lanjutan. Nilai tambah terbesar dinikmati China, sementara Indonesia tidak mendapatkan apa-apa karena tidak ada pajak dan tidak ada royalti yang dikenakan,” tegasnya.

Oleh karena itu, menurut dia, hal ini harus segera direformasi agar hilirisasi benar-benar menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi Indonesia. Hilirisasi hanya bermanfaat bila membentuk ekosistem industrialisasi dari hulu hingga hilir.

Ia menegaskan perlunya perubahan total tata kelola pertambangan dan hilirisasi mineral.

“Saya kira mutlak harus diubah. Pengenaan pajak bagi siapa pun, baik investor maupun pelaku eksplorasi, harus adil. Semua harus membayar royalti dan pajak tanpa pengecualian,” katanya.

Ia menyinggung ketimpangan kebijakan ketika BUMN tambang harus membayar pajak dan royalti, sementara investor smelter asal China tidak. Ia juga menyoroti kawasan industri dan smelter di Morowali, Sulawesi, yang dinilai tidak memberi dampak optimal bagi tenaga kerja lokal.

“Smelter di Morowali tidak banyak membuka lapangan pekerjaan karena investor membawa pekerja dari China. Seharusnya tata kelola mengatur jenis pekerjaan apa saja yang boleh didatangkan dari China. Kalau pekerja kasar juga dari China, itu menutup peluang tenaga kerja lokal,” ujarnya.

Kondisi tersebut dinilai ironis karena pertumbuhan ekonomi daerah meningkat, tetapi masyarakat lokal tetap miskin. Ia menilai hal itu terjadi karena pendapatan dari pajak dan royalti tidak optimal serta manfaat ekonomi tidak dirasakan langsung oleh penduduk.

Hilirisasi, katanya tegas, harus menghasilkan nilai tambah lebih besar bagi Indonesia dibanding China. Selain itu, hilirisasi harus mendorong terbentuknya ekosistem industri yang saling terhubung dari hulu hingga hilir.

“Kalau itu terjadi, maka akan muncul manufaktur yang saling berhubungan dan memberi kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Tapi sekarang tidak. Karena itu harapan ke depan, semua ini harus diubah dan diarahkan ke sana,” ujarnya. (Shiddiq)