NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pakar industri otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, mendesak agar regulasi battery passport (paspor baterai) segera disusun pemerintah. Dengan adanya regulasi tersebut kita dapat memastikan asal-usul hingga riwayat pemakaian seluruh baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia dapat terlacak.
Yannes menegaskan, regulasi tersebut penting untuk fondasi sistem pengolahan baterai EV bekas yang aman dan sesuai dengan prinsip ekonomi sirkular.
“Perlu sejak sekarang pemerintah menyusun regulasi untuk membangun sistem ‘battery passport’ supaya usia dan asal baterai bisa dilacak,” katanya sebagaimana dilansir Antara, Selasa (2/12/2025).

Menurut dia, regulasi tersebut dianggap penting lantaran setiap jenis kimia yang ada pada baterai, seperti NiMH (Nikel-Metal Hidrida), NMC (Nikel Mangan Kobalt)/NCA (Nikel Kobalt Aluminium) yang bernilai tinggi, serta LFP yang volumenya besar namun bernilai lebih rendah, memerlukan perlakuan berbeda dalam proses pemanfaatan ulang dan daur ulang.
“Mereka harus mengunci regulasi mulai dari penetapan yang solid terkait dengan klasifikasi limbah baterai, target recovery per jenis kimia baterai karena NiMH beda dengan NMC, NCA, dan beda lagi dengan LFP. Target recovery-nya adalah persentase minimal logam penting yang wajib berhasil diambil kembali lewat proses daur ulang, larangan buang ke TPA, hingga insentif fiskal untuk daur ulang tersebut,” jelasnya.
Regulasi battery passport dapat berfungsi sebagai identitas digital baterai yang memuat informasi teknis lengkap mulai dari jenis kimia baterai, tahun produksi, riwayat penggunaan, hingga tingkat kesehatan baterai. Battery passport memiliki peran penting jika Indonesia hendak membangun ekosistem pengelolaan sampah baterai EV bekas, melalui data tersebut memungkinkan usia dan asal baterai dapat dilacak sehingga terdata baterai mana yang masih bisa dipakai sebagai penyimpanan energi dan mana yang harus didaur ulang.

Selain itu, tanpa adanya sistem pelacakan yang jelas keputusan teknis terkait pemrosesan baterai berpotensi tidak akurat dan menimbulkan risiko keselamatan maupun kerugian ekonomi. Battery passport diperlukan untuk mendukung kebijakan extended producer responsibility (EPR) yang mewajibkan produsen menarik kembali baterai bekas.
Dengan pelacakan digital, proses pengambilan kembali (take-back) dapat diverifikasi, mencegah dumping, dan memastikan baterai tidak berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Maka, regulasi battery passport dan pengelolaan baterai secara keseluruhan harus dibuat.
Lalu, regulasi battery passport tidak hanya berada di tingkat peraturan menteri, tetapi perlu dinaikkan ke tingkat undang-undang atau peraturan pemerintah agar kuat dan mengikat seluruh pihak dalam rantai industri baterai. Penerapan regulasi juga harus berjalan serentak antara pemerintah pusat sebagai regulator, industri sebagai pelaksana, serta pemerintah daerah dan masyarakat sebagai pengawas. (Uyun)






















