
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Masa depan industri nikel Indonesia dapat berkelanjut jika dibangun di atas fondasi hijau dan teknologi rendah karbon. Besarnya cadangan nikel tidak menjadi penentu menguatnya posisi Indonesia di dalam pasar mineral kritis. Tetapi, kualitas pengolahan industri yang seimbang dengan prinsip lingkungan dan dekarbonisasi juga sebagai penentu.
Hal tersebut ditegaskan Director and Chief Sustainability and Corporate Affairs Officer of PT Vale Indonesia Tbk., Budi Awansyah, pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ke-30 atau Conference of the Parties Ke-30 (COP30),di Belém, Brasil, Senin (24/11/22025)
Budi mengatakan, cadangan nikel yang besar tidak menjamin Indonesia berpengaruh di rantai pasok karena yang lebih dibutuhkan adalah cara industri dikelola, sehingga perlunya standar operasional yang kuat untuk memenuhi tuntutan pasar Internasional.
“Kontribusi Indonesia tidak bisa hanya diukur dari besarnya cadangan mineral kritis,” katanya dalam konferensi tingkat tinggi tersebut.

Indonesia, katanya lebih lanjut, saat ini memang memiliki lebih dari 40% cadangan nikel dunia sehingga Indonesia dinobatkan sebagai pusat strategis dalam rantai pasok kendaraan. Akan tetapi, persepsi publik terhadap industri tambang masih dipengaruhi dengan kekhawatiran terhadap perubahan alam, sehingga tranformasi industri hijau sebagai keharusan yang wajib dijalani dengan konsisten dan pengawasan ketat.
Selain itu, ia juga menyampaikan, smelter merupakan salah satu sumber emisi terbesar dalam industri ekstraktif sehingga perlu operasi rendah karbon, efisien energi, dan tata kelola yang ketat agar kepemimpinan Indonesia dalam ekosistem mineral kritis dapat terlihat.
Diketahui, PT Vale Indonesia Tbk. menerapkan sejumlah upaya dekarbonisasi dengan memanfaatkan energi ramah lingkungan, seperti tenaga air, memaksimalkan panas buangan, meningkatkan efisiensi smelter, serta menggunakan gas CO dan hidrogen.
Perusahaan yang merupakan bagian dari Mind Id itu juga melaporkan berbagai kinerja lingkungan yang terukur, termasuk konsumsi air sebanyak 8.498,94 megaliter dengan intensitas 0,12 megaliter per ton nikel, serta penggunaan 510 meter kubik air daur ulang melalui fasilitas Lamella Gravity Settler untuk menghasilkan larutan ferosulfat.

Vale juga memanfaatkan kembali limbah B3 senilai 1.453 ton dan 377 ton sing non-B3 untuk menjadi material konstruksi dan lapisan jalan tambang.
“Pemanfaatan air daur ulang dan pengelolaan limbah yang bertanggung jawab menjadi bukti bahwa transformasi rendah karbon sudah berjalan,” paparnya.
Mind Id melalui COP30 menekankan kekuatan Indonesia di sektor mineral kritis terletak pada kapasitasnya mengembangkan rantai pasok berkelas global yang sejalan dengan pencapaian target Net Zero Emission serta komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). (Uyun)

























