Beranda Berita Nasional Ketergantungan Impor Nikel Bayangi Dominasi Indonesia di Pasar Global

Ketergantungan Impor Nikel Bayangi Dominasi Indonesia di Pasar Global

57
0
Ilustrasi (Foto: ist)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbanyak dan berambisi menjadi pusat industri nikel dan baterai listrik. Ironisnya negeri ini masih mengimpor dari Filipina yang memiliki cadangan nikel sedikit.

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdana Kusumah, mengatakan, hal tetsebut merupakan tanda hilirisasi harus diimbangi dengan pasokan hulu, sehingga industri nikel terus berjalan.

https://www.tickettailor.com/events/invr/1589356

“Hilirisasi nikel, yang selama ini dibanggakan sebagai lompatan strategis Indonesia, sesungguhnya adalah ekosistem yang kompleks. Ia tidak mungkin berjalan tanpa harmoni antara empat elemen: tambang sebagai pemasok bahan baku, smelter sebagai pengolah, pasar sebagai penyerap produk, dan kebijakan pemerintah sebagai pengarah,” kata Arif, di Jakarta, Kamis (20/11/2025).

Menurut dia, perubahan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun merupakan tantangan baru lantaran smelter yang terus bertambah, kuota tambang meningkat tetapi waktu perencanaan lebih singkat.

“Akibatnya, potensi ketidakseimbangan antara produksi tambang dan kebutuhan industri semakin terasa. Di sinilah ironi mulai tampak jelas,” ujarnya.

https://event.cnfeol.com/en/event/339

Dia menuturkan, implementasi teknologi pirometalurgi dan hidrometalurgi emerlukan pasokan yang stabil dan berkelanjutan, sehingga setiap keterlambatan dalam produksi tambang dapat memicu tekanan terhadap ketersediaan bahan baku.

Diketahui, pada 2024, Indonesia mengimpor sekitar 10,4 juta ton bijih nikel dari Filipina. Jumlah itu diperkirakan meningkat menjadi sekitar 15 juta ton pada 2025 atau setara US$ 600 juta. Filipina hanya memiliki 4,8 juta ton cadangan logam nikel atau sekitar 4% cadangan global.

Impor tersebut terjadi karena keterbatasan pasokan domestik dan kebutuhan blending untuk menyesuaikan rasio Si:Mg dalam proses produksi smelter.

Ekspansi ini memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain strategis di pasar baja tahan karat dan material baterai dengan penguasaan lebih dari 60% kebutuhan global. Namun, pertumbuhan yang berlangsung pesat tanpa diimbangi penguatan sektor hulu berpotensi memicu keterbatasan pasokan bahan baku.

Risiko kelangkaan bijih nikel tersebut pun dapat memengaruhi seluruh ekosistem industri sehingga berpotensi ketidakpastian investasi akibat perubahan kebijakan, kenaikan biaya produksi, risiko smelter berhenti beroperasi, hingga terhambatnya investasi lanjutan untuk industri baterai dan kendaraan listrik.

FINI mendorong pemerintah untuk memperkuat kegiatan eksplorasi, meningkatkan kapasitas dan kepatuhan teknis dalam operasional penambangan, serta mengutamakan pengesahan RKAB bagi tambang yang telah terintegrasi atau memiliki afiliasi dengan smelter. (Uyun)