NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pelaku industri nikel dalam negeri tengah menghadapi tekanan berat akibat meningkatnya beban biaya produksi di tengah penurunan harga global. Sejumlah faktor, seperti kenaikan royalti, kebijakan devisa hasil ekspor (DHE), penggunaan biodiesel B40, serta penerapan global minimum tax (GMT) dinilai menambah kompleksitas beban operasional sektor tambang nikel nasional.
Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, , mengatakan, sejak awal tahun ini biaya produksi meningkat signifikan. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan tarif royalti dari 10% menjadi 14% hingga 19%, tergantung harga nikel.
“Bayangkan, sebelumnya kita bayar 10%, sekarang 14%, padahal harga nikel dunia sedang turun,” kata Meidy, di kantor APNI, Selasa (4/11/2025).

Di samping itu, kewajiban penahanan hasil ekspor juga diperketat, pada 2023 DHE hanya 30% dan ditahan tiga bulan, saat ini meningkat menjadi 100% dan ditahan hingga satu tahun penuh, sehingga kebijakan tersebut memperlambat arus kas perusahaan tambang.
“Mau tidak mau operasional jadi goyang karena modal kerja tertahan selama satu tahun,” ujarnya.
Tak hanya itu, menurut dia, kendala lain yang turut membebani sektor tambang adalah penerapan bahan bakar biodiesel B40 untuk alat berat, yang masih menghadapi banyak masalah teknis di lapangan.
“Banyak alat berat yang filternya rusak dan mesin cepat panas setelah pakai B40,” singkapnya.
Harga B40, sambungnya, juga lebih tinggi dibanding solar industri dan menyebabkan kenaikan ongkos produksi hingga 5%. Kemudian, cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi juga ikut menekan kapasitas produksi, yang mengakibatkan banyak tambang tidak bisa beroperasi optimal karena lahan yang licin dan keterbatasan alat berat, sehingga produksi menurun drastis karena cuaca tidak menentu, sementara permintaan dunia masih tinggi.

Kemudian, implementasi GMT yang naik dari 11% menjadi 15% juga menambah tekanan keuangan perusahaan tambang. Sementara itu, aturan baru terkait rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang kini kembali diberlakukan untuk periode satu tahun turut menimbulkan kekhawatiran soal kelancaran produksi. Pelaku usaha berharap pemerintah mempertimbangkan kembali sejumlah kebijakan yang dinilai belum matang dalam implementasi.
“Transisi dari RKAB tiga tahun ke satu tahun membuat beberapa perusahaan harus menyesuaikan administrasi dan bisa menunda produksi. Kita butuh regulasi yang tidak hanya baik di atas kertas, tapi juga realistis di lapangan. Pemerintah perlu mitigasi kebijakan, dari harga, biaya produksi, hingga infrastruktur,” jelasnya.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, pelaku industri nikel tetap berupaya meningkatkan efisiensi melalui teknologi dan digitalisasi dengan penggunaan sistem berbasis artificial intelligence (AI) yang dinilai penting untuk menghitung kapasitas produksi, penggunaan bahan bakar, hingga efisiensi jarak hauling. Selain itu, ia menilai perlu adanya transfer teknologi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal.
“Teknologi sudah ada, tapi dukungan infrastruktur digital di lapangan masih minim. Internet saja belum stabil di banyak area tambang. Kita ingin pekerja di sekitar tambang tidak hanya di level bawah, tapi bisa naik kelas dan berkompeten di bidang teknologi pertambangan,” pungkasnya. (Uyun)


























