NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (Keminhil/BKPM) menggelar acara “Diseminasi Penyusunan Kajian Integrasi Rantai Pasok Baterai untuk Transisi Energi di Indonesia”, di Morrissey Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (28/10/2025).
Kegiatan yang berlangsung pukul 09.30–11.30 WIB ini mengundang berbagai stakeholder, termasuk Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), yang bertujuan memberikan masukan untuk penyusunan Panduan dan Peta Jalan Komprehensif bagi Para Pemangku Kepentingan dalam Mempercepat Transisi Energi di Indonesia.

Acara dibuka oleh moderator dari Keminhil/BKPM, Abinanto, yang menjelaskan bahwa diseminasi ini menjadi bagian penting dalam merumuskan arah kebijakan hilirisasi rantai pasok baterai nasional.
“Kita melihat secara makro dulu kebijakan nasional—mulai dari Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), hingga roadmap Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Lalu kita bahas insentif, tantangan, serta risiko yang dihadapi. Pada akhirnya, kita akan memetakan peran setiap stakeholder dalam jangka pendek, menengah, dan panjang melalui matriks tanggung jawab,” ujar Abinanto.

Dalam sesi diskusi, Novi Muharam, perwakilan dari Mind Id, holding BUMN sektor pertambangan, menyoroti ketimpangan antara kekuatan Indonesia dalam produksi nikel dan ketergantungan terhadap impor bahan baku baterai lain, seperti litium, grafit, dan mangan.
“Pertanyaan saya, bagaimana Indonesia dapat menyeimbangkan strategi investasi yang kuat pada nikel dengan kebutuhan mengembangkan kapasitas pemurnian litium dan sistem penyimpanan energi domestik?” tanya Novi.

Menanggapi hal tersebut, pakar rantai pasokan LIB, Jose Hofer, pengamat sekaligus narasumber acara, menilai bahwa Indonesia memiliki daya tarik besar bagi investor untuk mengembangkan kapasitas pemurnian litium dan industri penyimpanan energi (battery energy storage system/BESS).
“Indonesia adalah destinasi yang sangat baik untuk menetapkan kapasitas pemurnian. Keunggulan energi dengan biaya rendah menjadi daya tarik utama investasi di sini. Beberapa investor, seperti Ceng Sik (Chengxin Lithium Group Co., Ltd.,/IMIP), telah beroperasi di Indonesia untuk mengembangkan refining capacity. Selain itu, kemudahan akses terhadap bahan penunjang, seperti sulfuric acid dan lime juga menjadi faktor strategis,” ungkap Hofer.

Ia menegaskan, dalam konteks global, kompetisi industri baterai tak hanya ditentukan oleh ketersediaan bahan baku, tetapi juga oleh efisiensi biaya operasional.
“Negara-negara Eropa dan Amerika Utara kini sedang meninjau ulang strategi stabilitas biaya mereka. Sementara Indonesia memiliki posisi kuat karena keunggulan biaya energi, tenaga kerja, dan akses bahan kimia industri,” ujarnya.

Acara ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah, akademisi, dan pelaku industri dari sektor energi, teknologi, dan pertahanan. Melalui kegiatan diseminasi ini, Keminhil/BKPM berharap tercipta kolaborasi antarpemangku kepentingan untuk mempercepat pembangunan ekosistem baterai nasional yang terintegrasi dari hulu hingga hilir—sebagai bagian dari agenda besar transisi energi Indonesia menuju ekonomi hijau. (Shiddiq)

























