
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Tantangan perubahan iklim dan meningkatnya risiko bencana alam serta insiden akibat ulah manusia mendorong dunia teknik dan arsitektur beralih pada desain struktural yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Hal tersebut disampaikan Catherine Houska, pakar material sekaligus pendiri Catherine Houska Consulting LLC, dalam paparannya pada The Indonesia Stainless Steel Summit 2025 yang diselenggarakan Indonesian Association for Stainless Steel Development and Application (Inassda) di Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Selasa (21/10/2025).
“Setiap keputusan desain kini menjadi krusial. Ketahanan terhadap perubahan iklim maupun peristiwa yang disebabkan manusia harus menjadi dasar pengambilan keputusan dalam perancangan,” ujar Houska dalam sesi bertajuk “Sustainable & Resilient Stainless Steel Structural Design.”
Menurut dia, desain yang ideal adalah yang menggabungkan keberlanjutan (sustainability) dan ketahanan (resilience). Lembaga global, seperti PBB (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific/UN ESCAP), telah menempatkan adaptasi perubahan iklim melalui penguatan infrastruktur tangguh, sistem peringatan dini, dan ketahanan sumber daya air sebagai prioritas utama.

“Desain yang tahan lama sekaligus berkelanjutan bukan hanya mengurangi dampak lingkungan, tapi juga menekan biaya ekonomi akibat perbaikan atau penggantian berulang,” katanya meyakinkan.
Organisasi internasional, lanjutnya, seperti ASTM International dan National Institute of Standards and Technology (NIST), kini tengah menyusun standar ketahanan dan dekarbonisasi bangunan, seperti ASTM E3341 (Prinsip Umum Resiliensi) dan ASTM E3350 (Perencanaan Ketahanan Komunitas).
“Standar ini akan menjadi panduan penting agar analisis siklus hidup bangunan (life cycle assessment atau LCA) mencakup tahap penggunaan dan ketahanan terhadap kondisi ekstrem,” katanya.
Ia memaparkan data dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang menunjukkan bahwa permukaan laut global naik 17 cm antara 1920–2020 dan wilayah Samudra Indonesia bagian barat daya mengalami kenaikan 2,5 mm per tahun di atas rata-rata global.

“Kenaikan muka laut dan badai ekstrem meningkatkan kadar garam hingga jauh ke daratan, mempercepat korosi material yang sebelumnya dianggap tahan lama,” ungkapnya.
Dalam konteks tersebut, Houska menyoroti stainless steel sebagai material unggulan karena memiliki daya tahan tinggi terhadap korosi, gempa, ledakan, dan suhu ekstrem. Selain itu, material ini dapat didaur ulang tanpa batas dan memiliki jejak karbon yang menurun signifikan berkat peningkatan penggunaan baja daur ulang hingga 85%.
“Stainless steel mampu mempertahankan kinerja struktural dalam kondisi ekstrem sekaligus berkontribusi terhadap ekonomi sirkular. Ia bukan hanya material masa kini, tapi solusi untuk masa depan,” tegasnya.
Dia menampilkan berbagai contoh penerapan stainless steel pada infrastruktur ikonik dunia, seperti Jembatan Golden Gate, yang menggunakan baja tipe 2205 untuk retrofit seismik, 3 World Trade Center dengan sistem kaca tahan ledakan hingga Cornell University Dairy Plant yang mengutamakan higienitas dan efisiensi energi.

“Contoh-contoh ini membuktikan bahwa dengan pemilihan paduan dan desain yang tepat, struktur dapat bertahan puluhan bahkan ratusan tahun,” ujarnya.
Menutup presentasinya, ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas disiplin—antara arsitek, insinyur, industri, dan pemerintah—untuk mempercepat transisi menuju desain tangguh dan berkelanjutan.
“Kita hidup di dunia yang terus berubah. Setiap pilihan material dan sistem yang kita buat hari ini akan menentukan daya tahan lingkungan dan keamanan masyarakat di masa depan,” tutupnya. (Shiddiq)























