Beranda Asosiasi Pertambangan Kemendag Soroti Strategi Hadapi Hambatan Ekspor Baja dan Stainless Steel di Tengah...

Kemendag Soroti Strategi Hadapi Hambatan Ekspor Baja dan Stainless Steel di Tengah Ketatnya Persaingan Global

725
0
Direktur Ekspor Produk Logam, Industri dan Pertambangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Andri Gilang Nugraha, dalam acara INASDA 2025, di Grand Mercure Kemayoran Jakarta, Selasa (21/10/2025)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan pentingnya strategi nasional untuk menghadapi hambatan perdagangan dan mendorong diversifikasi ekspor produk baja dan stainless steel di tengah meningkatnya tantangan global.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Ekspor Produk Logam, Industri dan Pertambangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Andri Gilang Nugraha, dalam acara Indonesia Stainless Steel Summit yang digelar oleh INASSDA di Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta, Selasa (21/10).

Dalam paparannya, Andri mengungkapkan tren ekspor produk baja menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa kategori.

“Produk baja HRC dengan lebaran 600 mengalami kenaikan rata-rata 4,63%. Sementara produk setengah jadi untuk baja stainless steel naik hampir 2,7%. Untuk baja HRC naik 3,67%, dan peningkatan tertinggi sebesar hampir 11% terjadi pada baja CRC serta produk setengah jadi untuk besi dan baja non-paduan,” jelasnya.

Meskipun ekspor stainless steel sempat mencatat nilai sebesar US$15,16 miliar pada tahun 2024, Andri menyebut ada sedikit penurunan pada periode Januari–Agustus 2025 yang hanya mencapai US$8,74 miliar. Namun, negara-negara tujuan ekspor utama tetap stabil.

“Kita masih ekspor ke Tiongkok, Taiwan, Vietnam, India, dan satu negara Eropa yakni Italia,” tambahnya.

Menyoal kebijakan perdagangan luar negeri, Andri menjelaskan bahwa Kemendag saat ini mencatat sejumlah perizinan ekspor untuk produk hilirisasi logam dan pertambangan.

“Untuk sisa deskripsi logam, hanya ada satu perizinan ekspor. Sedangkan untuk produk hasil pemurnian dan pengolahan, ada sekitar 16 kode HS yang memerlukan persetujuan ekspor dan laporan berkala,” katanya.

https://inassda.org/event/inassda-full-day-seminar-on-stainless-steel/

Sementara dalam kebijakan impor, Permendag Nomor 16 Tahun 2025 mencakup 518 kode HS yang membutuhkan persetujuan impor, rekomendasi teknis dari Kementerian Perindustrian, dan pemeriksaan di perbatasan. Berdasarkan Permendag Nomor 24 Tahun 2025, hanya enam kode HS untuk sisa deskripsi logam yang dapat diimpor dengan perizinan tambahan.

Andri menilai, Indonesia memiliki keunggulan komparatif karena bahan baku diproduksi dalam negeri dan industri sudah berkembang pesat.

“Ini menjadi kekuatan untuk bersaing di pasar global,” ujarnya.

Namun demikian, tantangan di pasar internasional semakin kompleks. Beberapa negara menerapkan trade remedies terhadap produk Indonesia.

“Australia memberlakukan anti-dumping untuk produk steel reinforcing bar, Afrika Selatan dengan safeguard, Brasil dan Tiongkok untuk stainless steel slab, dan Malaysia untuk steel wire rods. Bahkan Mesir, Turki, dan Turki memberlakukan hambatan terhadap produk HRC dan CRC kita,” paparnya.

Selain itu, Uni Eropa akan segera menerapkan non-tariff barriers, dan India menerapkan Quality Control Order (QCO) yang setara dengan SNI sebagai syarat ekspor ke pasar India.

“Sayangnya, proses sertifikasi di India tidak transparan dan memakan waktu lama. Ini menjadi tantangan serius bagi eksportir kita,” tegas Andri.

Kemendag, lanjutnya, aktif melakukan diplomasi perdagangan untuk membuka akses pasar baru, termasuk melalui perundingan dagang.

https://ni-cr-mn-stainlesssteelapac.metal.com/

“Kita sudah menandatangani perjanjian dengan Kanada, dan sedang dalam tahap finalisasi dengan Uni Eropa. Selain itu, kami mendorong pembukaan akses ke kawasan Uni Emirat Arab, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin,” jelas Andri.

Ia juga menyinggung pentingnya diversifikasi produk ekspor stainless steel.

“Potensinya besar, mulai dari pipa dan tabung stainless steel, peralatan industri kimia dan makanan, komponen otomotif, hingga produk rumah tangga,” katanya.

Dalam konteks keberlanjutan, Andri menegaskan perlunya industri nasional beradaptasi menuju industri hijau.

“Negara-negara maju seperti Eropa sangat concern terhadap dekarbonisasi. Kita perlu kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk INASSDA, untuk transisi ke industri ramah lingkungan agar produk kita diterima di pasar global,” tutupnya. (Shiddiq)