
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pelaku usaha sektor pertambangan menilai Indonesia masih memiliki peluang besar untuk memperkuat investasi mineral dan batu bara di tengah dinamika ekonomi global. Namun, kepastian regulasi menjadi syarat utama agar sektor tersebut dapat terus menopang pertumbuhan nasional.
Vice Chair of Organizational Affairs Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Muliawan Margadana, mengatakan, meski kondisi global penuh tantangan, Indonesia masih mampu menjaga pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen yang salah satunya menjadi penopang yaitu sektor mineral dan batu bara.
“Dalam pertarungan global ekonomi yang sangat ketat dan dinamis ini, Indonesia masih bisa tumbuh relatif lima persen. Hal ini sedikit banyak ditopang oleh sektor mineral dan batubara,” ujarnya dalam acara Indonesia Green Mineral Investment Forum (IGMIF) 2025, Kamis (2/10).
Menurut Muliawan, potensi ekonomi hijau juga membuka peluang besar bagi dunia usaha, meskipun berbagai rintangan masih dirasakan di lapangan.
“Potensinya cukup besar untuk dikembangkan, tapi ada banyak tantangan yang kita hadapi bersama,” ucapnya.
Ia menjelaskan, salah satu hambatan yang paling penting adalah lamanya proses implementasi kebijakan yang berkaitan dengan hilirisasi dan investasi sektor tambang. Ia pun mengakui bahwa dorongan dan insentif sebenarnya telah digulirkan pemerintah, namun tidak selalu berjalan mulus di tahap pelaksanaan.
“Secara konsep cukup menarik. Namun, dalam implementasi, seringkali hambatan-hambatan itu terjadi karena ketidak konsistenan di dalam regulasi,” jelasnya.
Ia menambahkan kondisi fiskal pemerintah juga turut memengaruhi ekosistem usaha, terutama dengan adanya penambahan pajak dan beban lainnya di tengah perlambatan pemasukan negara.
“Sekarang ada penambahan-penambahan pajak BNPB dan sebagainya. Ini semua mengubah pola bisnis dalam konteks revenue,” ujarnya.
Di sisi lain, upaya menuju ekonomi hijau dinilai masih membutuhkan dukungan pembiayaan yang besar serta kemitraan internasional, contohnya seperti sektor listrik berbasis energi hijau yang belum sepenuhnya terjangkau masyarakat.
“Green economy ini tidak murah. Ada faktor pembiayaan yang besar dan perlu kerja sama akses finance secara internasional,” paparnya.
Ia menekankan, perubahan kebijakan di tengah jalan sangat berisiko bagi bisnis yang padat modal dan berjangka panjang seperti pertambangan.
“Nature bisnis tambang ini sangat panjang, high risk dan padat modal, tentunya memerlukan perhatian lebih,” pungkasnya. (Uyun)