
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Dunia nikel telah mengalami transformasi luar biasa dalam empat dekade terakhir. Dari logam yang dulunya identik dengan sendok garpu dan baja nirkarat (stainless steel), kini nikel menjelma sebagai elemen kunci dalam industri baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), energi terbarukan, hingga teknologi medis. Bahkan, nikel juga penting untuk pesawat ruang angkasa karena sifatnya yang tahan panas, korosi, dan radiasi, memungkinkan komponen berfungsi di lingkungan luar angkasa yang ekstrem dan mendukung satelit serta perisai panas pesawat.
Perjalanan nikel hingga menjadi barang-barang yang diperlukan manusia bukan hanya berbicara soal sumber daya, cadangan, eksplorasi, proses produksi, dan volume produksi, tetapi juga juga kisah tentang inovasi, hilirisasi, dan keberlanjutan.

Pada 1985, lebih dari 50% konsumsi nikel global diarahkan untuk stainless steel, sementara pemanfaatannya di sektor baterai hampir tak terdengar. Meskipun konsumsi untuk stainless steel saat ini masih dominan (65%), tetapi pangsa nikel untuk baterai EV telah melonjak ke 15%, seiring pesatnya adopsi EV dan tuntutan untuk menghasilkan energi bersih (green energy).
Kemajuan teknologi baterai berbasis nikel, seperti NMC (nickel-manganese-cobalt) dan NCA (nickel-cobalt-aluminium), membuat EV semakin efisien. Hyundai Ioniq 5, misalnya, dengan baterai berbasis NMC rasio 8:1:1, mampu menempuh 512 km hanya dengan sekali pengisian.

Di bidang kesehatan, kehadiran nikel juga cukup signifikan. Empat dekade lalu, sulit dibayangkan bahwa nikel akan menyentuh kehidupan sehari-hari. Kini, stent pediatrik berbahan nitinol (nikel-titanium) digunakan untuk membantu bayi dengan kelainan jantung bawaan, menggantikan operasi terbuka dengan prosedur lebih minim invasif.
Di ranah teknologi, miliaran smartphone di dunia mengandalkan nikel dalam multi-layer ceramic capacitors (MLCCs) untuk menjaga kinerja perangkat tetap cepat, stabil, dan hemat energi.

Indonesia Jadi Episentrum Global
Sejak dua dekade terakhir bergulirnya pemanfaatan nikel global, Indonesia muncul sebagai produsen nikel terbesar dunia. Hampir 64% pasokan global disumbang Indonesia hingga memainkan peran penting dalam rantai pasok global nikel. Kebijakan hilirisasi, investasi smelter, dan pengembangan produk turunan, seperti nickel pig iron (NPI), mixed hydroxide precipitate (MHP), hingga nickel matte menjadikan Indonesia bukan sekadar pemasok bijih nikel (nickel ore), melainkan penggerak utama hilirisasi mineral strategis dunia.
Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menegaskan, keberhasilan tersebut adalah bukti nyata bahwa Indonesia tidak hanya kuat dari sisi produksi, tetapi juga berhasil menjadikan nikel sebagai motor pembangunan nasional.
“Transformasi ini bukan hanya soal produksi, tetapi juga tentang bagaimana Indonesia menjadi penguasa 64% nikel dunia, menempatkan nikel sebagai katalis pembangunan ekonomi, pencipta lapangan kerja, dan penggerak transisi menuju energi bersih dunia,” ujar Meidy, kepada Nikel.co.id, Kamis (4/9/2025).

Namun, ia mengingatkan bahwa isu lingkungan (environment), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau ESG kini menjadi ujian nyata industri nikel global. Teknologi ramah lingkungan, seperti high pressure acid leach (HPAL) serta penerapan life cycle assessment (LCA), semakin ditekankan untuk menekan emisi dan dampak lingkungan.
Sejalan dengan hal itu, inovasi juga terus berkembang, mulai dari penemuan bakteri konduktif berbasis nikel untuk bioelektronik (seperti bakteri Alicyclobacillus ferrooxidans, Bacillus mucilaginosus, dan Pseudomonas putida), hingga paduan logam baru “hyperadaptor” yang tahan suhu ekstrem untuk pesawat dan turbin.
Keberlanjutan adalah Kunci Sukses
APNI, ujar Meidy menegaskan, bahwa keberlanjutan adalah kunci agar nikel Indonesia dapat diterima pasar global.
“Tantangan kita bukan hanya volume, tetapi juga bagaimana memproduksi secara bertanggung jawab. APNI mendorong standar ESG yang kuat agar industri nikel Indonesia diakui tidak hanya sebagai raksasa produksi, tapi juga pionir keberlanjutan,” tambahnya.

Dengan permintaan nikel yang terus meningkat, terutama dari sektor EV dan energi terbarukan, logam ini diprediksi akan tetap menjadi pilar utama transisi energi global. Namun, keberhasilan industri nikel tidak hanya ditentukan oleh tingginya produksi, melainkan juga inovasi, keberlanjutan, dan kemampuan menjaga keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan. Selama empat puluh tahun terakhir menunjukkan ketangguhan nikel. Empat puluh tahun ke depan akan menentukan bagaimana logam ini membentuk masa depan dunia.
“Indonesia kini berada di garis depan, bukan sekadar sebagai pemasok, tapi sebagai penentu arah dalam geopolitik mineral kritis dunia. Hilirisasi adalah kunci agar nikel menjadi warisan energi bersih dan kemakmuran nasional,” tutup Meidy. (Red)