

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Kamar Dagang Tiongkok di Indonesia (CCCI) menggelar Forum Laporan ESG 2025 pertama dengan tema “Membangun Kepercayaan, Memastikan Kepatuhan, Memungkinkan Simbiosis” pada Kamis (7/8/2025) di Ayana Midplaza, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
Forum ini menjadi ruang diskusi penting bagi pelaku industri mineral, khususnya nikel, dalam mendorong kepatuhan terhadap standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Acara ini dihadiri perwakilan pemerintah, asosiasi industri, dan mitra internasional. Dalam pemaparannya, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menyoroti sejumlah dinamika terkini di sektor mineral. Salah satunya terkait perubahan siklus persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tambang, yang sempat disetujui setiap tiga tahun, namun kini kembali diwacanakan menjadi tahunan karena isu oversupply.
“Dulu kita perjuangkan agar RKAB cukup setiap lima tahun, akhirnya disepakati tiga tahun. Tapi belakangan kembali jadi satu tahun karena katanya kelebihan suplai. Ini sedang jadi isu hangat,” ujar Meidy dalam paparannya tersebut.
Ia juga menekankan pentingnya harga patokan mineral yang transparan. Salah satunya adalah penetapan harga referensi untuk komoditas nikel melalui regulasi Permen ESG Nomor 11 Tahun 2020.
“Harga patokan ini menjadi dasar penghitungan royalti negara. Produk seperti nikel mate, nikel sulfat, dan MHP sudah disiapkan bersama Kementerian ESDM dan mitra dari Tiongkok,” tambahnya.

Terkait tren hilirisasi, Indonesia dinilai sangat strategis dalam rantai pasok nikel global. “Indonesia itu terlalu kaya. Bicara cadangan nikel, kita nomor satu dunia. Khususnya di wilayah Timur Indonesia, seperti Maluku Utara dan provinsi lain, itu menyumbang 35% cadangan nasional,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa nikel Indonesia, terutama jenis laterit, memiliki keunggulan dibanding negara lain, termasuk Filipina dan New Caledonia.
“Dari sisi kandungan, produksi, sampai kemudahan tambang, kita jauh lebih unggul,” katanya.
Selain sektor tambang, nikel juga memainkan peran penting dalam teknologi modern seperti baterai dan satelit.
“Produksi satelit ternyata mengandung lebih dari 60% nikel. Bahkan baterai jenis NFC juga sangat tergantung pada nikel,” ungkapnya.
Untuk memperkuat sistem dan pengawasan industri mineral, Indonesia telah mengintegrasikan lima kementerian melalui sistem Simbara (Sistem Informasi Mineral dan Batubara). Sistem digital ini menghubungkan proses mulai dari produksi, perdagangan, distribusi, hingga pengawasan fiskal.

“Ini kolaborasi antara Kementerian ESDM, Perdagangan, Perhubungan, Perindustrian, dan Keuangan. Tujuannya mengontrol supply chain dari tambang hingga produk akhir, serta memastikan kewajiban pelaku usaha dipenuhi sesuai regulasi,” jelasnya.
Forum ESG ini juga menjadi panggung untuk menyuarakan perlunya pembentukan Indonesia Metal Exchange guna menciptakan transparansi harga dan memperkuat posisi Indonesia dalam pasar global.
“Indonesia sudah saatnya menjadi pemain utama—artinya tidak hanya kompetitif, tapi menciptakan nilai tambah bagi bangsa. Itu misi besar kita,” tutupnya. (Shiddiq)