
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Di balik gemuruh mesin dan hiruk-pikuk aktivitas tambang nikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Pomala, Sulawesi Tenggara, tersimpan tantangan besar yang terus menghantui masa depan industri nikel nasional: kadar bijih nikel yang terus menurun dari tahun ke tahun.
Muhidin, perwakilan Antam Pomala, menyampaikan kenyataan pahit itu dalam sebuah diskusi kelompok terfokus atau focus group discussion (FGD) bertajuk “Pengolahan dan/atau Pemurnian Kegiatan Pertambangan”, yang digelar Rabu (17/7/2025).
“Pabrik kami dulu dibangun ketika kadar nikel masih berkisar di angka 2,2% hingga 2,3%. Sekarang, untuk mendapatkan kadar 1,8% saja sudah sangat sulit,” ujarnya dalam FGD tersebut yang diikuti Nikel.co.id melalui Zoom Meeting itu.
Penurunan kadar bijih nikel bukan hal baru dalam dunia tambang. Tetapi, dampaknya kini semakin nyata, terutama bagi pabrik-pabrik yang dibangun dengan desain dan proyeksi sumber daya masa lalu. Menipisnya kadar nikel membuat perusahaan harus menggali lebih banyak tanah, mengolah lebih banyak material, tetapi dengan hasil akhir yang semakin sedikit.

Kondisi ini membuat beban biaya produksi melonjak, terutama pada pos energi. Muhidin menyebut komponen energi sebagai beban terbesar dalam keseluruhan proses produksi nikel menjadi feronikel.
“Kami terus mencari cara untuk meningkatkan efisiensi. Salah satunya adalah menjajaki pemanfaatan kembali panas buangan untuk proses pengeringan di hulu,” katanya.
Upaya itu belum sepenuhnya terealisasi, namun menurutnya langkah-langkah awal telah ditempuh. Jika berhasil, inovasi tersebut bisa menekan konsumsi energi dalam jangka panjang.
Selain energi, tantangan lain yang tak kalah penting adalah sumber daya manusia. Kompetensi tenaga kerja harus terus ditingkatkan seiring dengan kompleksitas operasi. Karenanya, pihaknya terus mendorong peningkatan kapasitas kru, terutama di area tambang.

Di sektor tambang, Antam tengah menerapkan berbagai metode peningkatan produktivitas. Salah satunya melalui diagnostic mining, yakni proses identifikasi menyeluruh terhadap seluruh aspek operasional tambang, mulai dari performa alat berat, sistem pergantian kru, hingga kondisi jalan tambang.
“Jalan tambang kami analisis secara dinamis, mana titik-titik rawan yang menyebabkan keterlambatan atau kerusakan alat, dan apa saja yang bisa diperbaiki. Hal itu kami lakukan secara rutin,” katanya menjelaskan.
Ia melanjutkan, waktu tunggu alat berat, seperti saat proses digging atau loading, kerap menjadi titik inefisiensi. Ketika alat berat harus menunggu karena keterlambatan kru atau gangguan teknis, produktivitas langsung turun.
“Kami mencoba meminimalkan waktu standby itu sebanyak mungkin,” katanya.

Apa yang dihadapi Antam Pomala adalah gambaran tantangan yang kini juga dihadapi oleh banyak perusahaan tambang mineral di Indonesia. Saat sumber daya dengan kadar tinggi telah dieksploitasi, industri harus bersiap menghadapi realitas baru: kadar rendah, biaya tinggi, dan kebutuhan inovasi berkelanjutan.
“Ini tantangan klasik, tapi sekarang terasa makin berat,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan, pihaknya tidak tinggal diam.
“Kami tidak bisa berharap kadar kembali naik. Yang bisa kami lakukan adalah menyesuaikan diri, terus berinovasi, dan memperkuat efisiensi,” ujarnya.
Dengan tantangan kadar bijih yang kian menipis, industri tambang seperti Antam harus bergerak cepat. Di tengah transisi energi global dan tingginya permintaan logam untuk baterai kendaraan listrik, setiap persen kadar nikel kini menjadi taruhan besar bagi keberlanjutan bisnis. (Shiddiq)