NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Transformasi digital disebut sebagai jalan keluar dari kompleksitas pengelolaan ESG (Environmental, Social, and Governance) yang kini makin ketat diterapkan dalam industri tambang, terutama di sektor nikel.
Sustainable Manager Nickel Industries Limited, Muchtazar, menegaskan bahwa digitalisasi bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan efisiensi, akurasi, dan transparansi dalam pelaporan kinerja keberlanjutan perusahaan.
“Digitalisasi menjadi alat bantu yang strategis untuk mengelola data ESG secara real-time, akurat, dan mudah diakses. Ini bukan lagi pilihan, tapi keharusan,” kata Muchtazar dalam presentasinya di Indonesia Smart Mining Conference 2025 di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2025.

Konferensi yang dihelat oleh Petromindo dan KOMITO Asia ini mengangkat isu digitalisasi logistik, integrasi sistem, serta transformasi sektor mineral dan logam dalam menyongsong pertambangan cerdas (smart mining). Dia menilai forum ini sebagai wadah penting karena masih jarang ada diskusi mendalam tentang digitalisasi yang menyentuh aspek ESG secara langsung.
Nickel Industries Limited, kata Muchtazar, bukanlah perusahaan konsultan atau pengembang perangkat lunak.
“Kami adalah produsen nikel yang masuk dalam jajaran sepuluh besar dunia. Karena itu, kami ingin berbagi pengalaman bagaimana digitalisasi berdampak langsung terhadap kredensial ESG kami,” ujar dia.

Ia menekankan bahwa ESG telah menjadi perhatian utama pemangku kepentingan global—dari investor hingga pembeli akhir, terutama dari pasar Eropa.
“Sekarang, pembeli menuntut data jejak karbon (carbon footprint) yang terukur, bahkan untuk emisi lingkup 3. Tanpa digitalisasi, akan sangat sulit menyajikan data ini secara cepat dan transparan,” ucapnya.
Dalam pemaparan berbasis data Global Risk Outlook 2025, ia menyebut bahwa topik-topik seperti AI, keamanan siber, dan IT telah melampaui isu lingkungan sebagai risiko jangka panjang terbesar.
“Itu artinya, perusahaan harus mulai melihat digitalisasi sebagai peluang strategis untuk mengelola risiko secara proaktif,” kata dia.

Digitalisasi juga dianggap sebagai solusi atas kendala klasik pelaporan ESG—mulai dari pengumpulan data manual yang menyita waktu, kualitas data yang tidak konsisten, hingga tantangan keterbatasan kapasitas SDM. “Kita bisa saja punya sistem digital canggih, tapi jika SDM kita tak mampu mengoperasikannya, teknologi itu hanya akan jadi etalase,” katanya.
Tantangan lain, menurut dia, adalah keengganan sebagian perusahaan untuk membuka data ESG secara transparan.
“Kita tak perlu sempurna, tapi kita perlu jujur dan menunjukkan peta jalan menuju perbaikan,” ujarnya. (Shiddiq/Lily)