

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Digitalisasi tambang di Indonesia masih terbata-bata. Implementasi teknologi pintar atau smart mining baru berjalan setengah langkah, sebagian besar terbatas di wilayah administratif dan keuangan. Dalam skala operasional, teknologi masih kalah cepat dari tantangan lapangan: minimnya infrastruktur dan kesiapan sumber daya manusia.
Gambaran itu mencuat dalam gelaran Indonesia Smart Mining Conference 2025, Selasa, 15 Juli, di Hotel Shangri-La, Jakarta. Forum ini mempertemukan pelaku industri tambang, penyedia teknologi, serta perwakilan pemerintah untuk menakar kesiapan sektor tambang nasional menghadapi tuntutan digital dan keberlanjutan.
“Masalahnya dua: biaya awal yang besar dan kesiapan SDM yang masih belum matang,” kata President Director of UCOAL Sumberdaya, F. Hary Kristiono, seraya menambahkan bahwa perusahaan tambang yang sudah menerapkan sistem Asset Resource Planning (ARP) pun belum tentu berhasil mengoptimalkan teknologinya.
“Teknologi diterapkan, tapi tidak digunakan. Ini kekhawatiran besar,” tambah Hary.
Menurut dia, tambang batu bara terbuka—yang mendominasi sektor pertambangan nasional—masih sulit didigitalisasi secara operasional. Berbeda dengan tambang bawah tanah seperti Freeport, yang memerlukan kendali jarak jauh karena tingkat risikonya tinggi. Namun, di sisi administrasi dan keuangan, digitalisasi seperti SAP mulai menjadi standar, meski dengan investasi besar.

Kendala serupa diutarakan Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Ia mengungkap tekanan dari pembeli internasional soal keberlanjutan dan label nikel kotor yang melekat pada industri nikel Indonesia.
“Kami baru memulai. Tapi kami siap. Kami sedang menyusun parameter ESG Indonesia berbasis 57 regulasi dari sembilan kementerian,” ujar Meidy.
Namun, dia tak menampik bahwa implementasi sistem digital di tambang—terutama di wilayah terpencil—masih jauh dari ideal.
“Bagaimana mengontrol alat berat setiap hari dari kantor? Laporan masih manual,” katanya.
Ia menyebut Kementerian ESDM sebagai satu-satunya kementerian yang dinilainya memberikan dukungan sistem terbaik, terutama lewat platform MOMI (Mineral One Data Indonesia), meskipun platform ini kadang mati.

Dari sisi teknologi alat berat, transformasi digital justru mulai terlihat.
President Director PT Gaya Makmur Mobil, Frankie Makaminang, menyebut tren permintaan truk pintar dengan sistem telemetri meningkat tajam.
“Truk kami sekarang sudah dilengkapi GMN-Teletec. Awalnya opsional, sekarang jadi bonus. Pelanggan bisa pantau efisiensi bahan bakar, jadwal perawatan, hingga potensi pencurian solar,” ujar Frankie. Truk elektrik juga mulai diujicobakan di Kalimantan Selatan.
Namun, teknologi tinggi tidak bisa berdiri sendiri tanpa jaringan infrastruktur yang memadai.
“Kami masih pakai GSM. Kalau tak ada sinyal, data disimpan di truk dan baru dikirim begitu sinyal kembali. Masalahnya, tidak semua tambang punya sinyal yang stabil,” katanya.

Dari sisi keekonomian, President Director, PT MNC Energy Investment Tbk, Suryo Eko Hadianto, mengatakan bahwa biaya bahan bakar disebut memakan 30–40 persen ongkos produksi tambang. Pengendalian penggunaan solar menjadi sorotan utama.
“Pencurian bahan bakar lebih besar dampaknya ketimbang konsumsi alat itu sendiri,” ujar Eko.
Meski begitu, President Director & Country Holding Officer of ABB Indonesia, Gerard Chan, menambahkan bahwa sejumlah perusahaan mulai menyusun strategi bertahap. Salah satunya, konversi sistem kendaraan ke mode hybrid sebagai jembatan menuju tambang cerdas.
“Tak harus langsung full digital. Transisi perlahan lebih realistis,” ujar Gerard.
Konferensi Smart Mining 2025 menggarisbawahi kenyataan pahit: transformasi digital di sektor tambang bukan sekadar perkara adopsi teknologi, tapi juga tentang kesiapan manusia, strategi investasi, dan dukungan infrastruktur. Dan untuk saat ini, kecerdasan tambang Indonesia masih harus bertarung dengan kenyataan di lapangan. (Shiddiq/Lily)