Beranda Daerah KKP Temukan Ketidaksinkronan Perizinan Hilirisasi Nikel Darat dan Laut di Sulawesi

KKP Temukan Ketidaksinkronan Perizinan Hilirisasi Nikel Darat dan Laut di Sulawesi

130
0
Direktur Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau kecil Direktorat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Permana Yudiarso, dalam tanya jawab di forum koordinasi bersama kementerian dan pemerintah daerah, dalam tayangan YouTube Pemerintah Sulawesi Tengah, Kamis (10/7/2025).

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyoroti ketidaksinkronan antara tata ruang darat dan laut yang berdampak pada proses perizinan dasar pemanfaatan ruang laut (KKPRL), khususnya dalam kegiatan hilirisasi pertambangan nikel di wilayah pesisir seperti Morowali dan Luwu, di Sulawesi.

Direktur Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau kecil Direktorat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Permana Yudiarso menjelaskan bahwa salah satu isu utama adalah perbedaan penetapan garis pantai antara provinsi, kabupaten/kota, serta Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai institusi yang berwenang dalam penetapan data geospasial.

“Kami menghadapi kendala ketika sinkronisasi tata ruang darat dan laut tidak sejalan, terutama soal garis pantai. Di Morowali, misalnya, kegiatan reklamasi untuk terminal ekspor nikel dilakukan tanpa izin dan berdampak ke laut. Akhirnya negara yang menanggung biaya pemulihan lingkungannya,” ujar Permana dalam tanya jawab di forum koordinasi bersama kementerian dan pemerintah daerah, dalam tayangan YouTube Pemerintah Sulawesi Tengah, Kamis (10/7/2025).

Permana menambahkan, saat ini masih ada lebih dari 15 provinsi yang belum menetapkan peraturan daerah (Perda) tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW), sehingga memperumit proses integrasi perizinan antara darat dan laut. Padahal, menurutnya, Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 mengamanatkan integrasi penuh antara tata ruang darat dan laut.

“Perusahaan tambang berlomba-lomba membangun terminal khusus tanpa sinkronisasi rencana ruang. Kami menolak menerbitkan KKPRL jika tidak ada kesesuaian dengan tata ruang laut. Ini kami lakukan demi menjaga ekosistem dan mencegah kerusakan yang lebih parah,” tegasnya.

Dalam kasus di Luwu, Permana menyebutkan bahwa adanya tumpang tindih proyek strategis nasional (PSN) menyebabkan tekanan tambahan terhadap kawasan pesisir dan laut. Terminal khusus yang dibangun untuk ekspor nikel dan batubara tidak terintegrasi dengan rencana ruang laut, sehingga memicu konflik ruang dan dampak lingkungan.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Reny Windyawati menyampaikan bahwa penyusunan RTRW dan Rencana Tata Ruang Terperinci (RTTR) tetap menjadi kewenangan daerah. Namun, pemerintah pusat tetap memberikan bantuan teknis terutama untuk daerah-daerah prioritas.

“Permasalahan banyak terjadi karena data garis pantai dalam RTRW provinsi kadang sudah kadaluarsa, sementara RTTR kabupaten menyusun dengan data baru. Ini perlu penyesuaian karena menentukan jenis izin apakah KKPRL atau KKPR darat yang bisa diterbitkan,” jelas Reny.

Pemerintah pusat bersama KKP dan ATR berkomitmen untuk merevisi peraturan terkait, termasuk Peraturan Pemerintah tentang Rencana Zonasi Wilayah dan Perencanaan Tata Ruang Nasional, agar ke depan integrasi darat-laut bisa berjalan optimal.

“Kami harap ada regulasi nasional yang bisa menyatukan aturan antara kementerian, baik KKP maupun ATR, supaya masalah ekosistem, sedimentasi, dan konflik masyarakat pesisir bisa diselesaikan secara menyeluruh,” harap Permana.

Hilirisasi pertambangan nikel merupakan bagian dari program strategis pemerintah dalam mendorong nilai tambah komoditas mineral. Namun, pengembangan kawasan industri dan pelabuhan di wilayah pesisir memerlukan pengelolaan ruang yang harmonis antara darat dan laut agar tidak merusak lingkungan dan ekosistem pesisir. (Shiddiq)