Beranda Asosiasi Pertambangan Di Balik Kilau Nikel, Industri Bergulat dengan Beban dan Stigma

Di Balik Kilau Nikel, Industri Bergulat dengan Beban dan Stigma

79
0
Sekum APNI Meidy katrin Lengkey dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia, Selasa (8/7/2025)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Saat dunia berlomba menuju energi hijau, Indonesia berdiri di garis depan sebagai salah satu pemilik cadangan nikel terbesar. Namun di balik potensi besar itu, ada realitas yang masih harus diperjuangkan: serapan dalam negeri yang belum maksimal, tekanan biaya yang kian berat, dan stigma negatif yang terus membayangi.

Dalam tayangan Mining Zone bertema Indonesia Melawan Stigma Negatif Soal Nikel, yang disiarkan CNBC Indonesia, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan potret industri yang tak banyak diketahui publik. Data yang ia paparkan menggelitik satu pertanyaan besar: sudah sejauh mana kekayaan nikel kita dimanfaatkan untuk kepentingan nasional?

“Dari 30 juta ton produksi nikel per tahun, hanya 2 juta ton yang terserap untuk kebutuhan dalam negeri. Sisanya diekspor dalam berbagai bentuk,” ungkap Meidy.

Kondisi ini menjadi sorotan tersendiri di tengah narasi besar hilirisasi industri. Pemerintah memang mendorong nilai tambah dengan membangun smelter dan industri turunan. Namun, dia menegaskan bahwa proses ini tidak cukup hanya berhenti di situ. Ia menggarisbawahi pentingnya kehadiran pabrik baterai kendaraan listrik (EV) yang betul-betul beroperasi dan memanfaatkan nikel Indonesia secara maksimal.

Tak hanya soal hilirisasi, industri nikel juga tengah menghadapi tekanan dari luar: isu lingkungan dan sosial yang menjadi sorotan global. Mulai dari tuduhan pencemaran lingkungan, eksploitasi tenaga kerja, hingga kerusakan ekosistem di sekitar area tambang. Semua ini membentuk stigma negatif yang kerap menutupi upaya-upaya perbaikan yang telah dilakukan pelaku industri.

Namun, di tengah tekanan itu, ada semangat perlawanan. APNI dan para pelaku industri mencoba membalikkan narasi. Mereka ingin dunia melihat sisi lain dari industri nikel Indonesia — yang sedang berbenah, lebih transparan, dan bertanggung jawab secara sosial serta lingkungan.

“Kami tidak tinggal diam. Kami punya komitmen untuk menerapkan praktik tambang yang baik (good mining practice). Tapi dunia juga harus adil melihatnya,” ujarnya.

Tantangan lainnya datang dari sisi biaya produksi yang terus meningkat, terutama sejak pandemi dan krisis energi global. Beberapa pelaku usaha bahkan mengaku tertekan dengan margin yang menipis, sementara harga nikel global tidak selalu stabil.

Meski demikian, pemerintah tetap optimis. Dengan strategi hilirisasi yang konsisten dan pembenahan tata kelola, nikel diyakini bisa menjadi tumpuan transisi energi nasional, sekaligus penggerak ekonomi di masa depan.

Indonesia saat ini tak hanya ingin dikenal sebagai eksportir bahan mentah. Lebih dari itu, negeri ini ingin membuktikan bahwa di balik kilau nikel, ada tekad untuk menjadi pemain utama dalam industri global — secara berkelanjutan, beretika, dan inklusif. (Shiddiq)