Beranda Asosiasi Pertambangan APNI: Serapan Nikel Lokal Semester I 2025 Jauh dari Target

APNI: Serapan Nikel Lokal Semester I 2025 Jauh dari Target

76
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey dalam acara dalam Mining Zone CNBC Indonesia bertajuk “Indonesia Melawan Stigma Negatif Soal Nikel,” Selasa (8/7/2025).

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Serapan nikel pada semester pertama 2024 masih jauh dari total persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB). Jumlah total yang disetujui di RKAB sebanyak 364 juta ton, sedangkan produksi baru 120 juta ton.

Demikian antara lain diungkapkan Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, dalam Mining Zone CNBC Indonesia bertajuk “Indonesia Melawan Stigma Negatif Soal Nikel,” Selasa (8/7/2025).

“Pada 2025 ini sudah ada 364 juta ton RKAB yang disetujui. Tapi dari Januari sampai Juni, data yang kami rekap menunjukkan baru sekitar 120 juta ton yang terserap,” ujar Meidy.

Dia merinci, serapan nikel pada semester pertama terdiri atas 50–65 juta ton pada kuartal I dan 60–65 juta ton pada kuartal II. Angka ini masih jauh dari kapasitas produksi, apalagi gangguan cuaca dan hujan menghambat aktivitas pertambangan, terutama di Sulawesi.

“Kalau sudah hujan, kita nggak bisa produksi sama sekali. Jadi, kapasitas pasti menurun,” jelasnya.

Ia juga menyoroti adanya impor nikel dari Filipina yang mencapai 4,6 juta ton selama paruh pertama 2025, di tengah belum maksimalnya pemanfaatan RKAB domestik.

Beban Biaya Meningkat

Selain persoalan serapan, Meidy menyinggung meningkatnya beban biaya yang ditanggung pelaku industri sejak Januari 2025. Hal itu dipicu oleh berbagai kebijakan, mulai dari kewajiban domestic market obligation (DMO), penerapan B40 yang berpotensi naik menjadi B50, hingga pungutan ekspor dan pajak baru.

“Kita menghadapi banyak beban. Dari DHE (devisa hasil ekspor, red) ekspor 100%, B40 menuju B50, GMT (global minimum tax, red) sampai 15%, dan potensi pajak baru dari Kementerian Keuangan. Ini membuat dua bulan terakhir sekitar 28 jalur RKEF sudah shutdown,” paparnya.

Menurutnya, beban biaya ini juga menyebabkan beberapa smelter dan pabrik tunggal tak lagi mampu menutup biaya operasional. Hal tersebut berdampak pada turunnya produksi dan semakin tidak optimalnya pemanfaatan cadangan.

Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan upaya Indonesia dalam memperbaiki citra industri nikel melalui penyusunan standar keberlanjutan. APNI saat ini tengah menyusun parameter ESG Indonesia yang disesuaikan dengan standar internasional, seperti IRMA, dan hasil diskusi dengan OEM (original equipment manufacturer).

“Kita sedang analisis gap dari 57 regulasi yang mengatur ESG di Indonesia. Ini upaya kita untuk menjawab stigma negatif soal nikel Indonesia yang selama ini belum terbantahkan,” pungkasnya.

Dia berharap penerapan standar ESG akan meningkatkan kepercayaan pasar global dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama nikel dunia. (Shiddiq)