
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menegaskan bahwa dominasi Indonesia dalam industri nikel global bukanlah ancaman, melainkan bukti keberhasilan pemain baru yang tengah berproses. Hal ini disampaikan dalam tayangan Mining Zone CNBC Indonesia bertema “Indonesia Melawan Stigma Negatif Soal Nikel”.
“Indonesia ini memang pemain baru dalam industri nikel, tapi keberhasilan kita dalam hilirisasi terbilang luar biasa dan cepat,” kata Meidy, Senin (8/7/2025). Ia menyebutkan bahwa produksi nikel Indonesia sudah menguasai 63% dari total produksi global pada 2024, naik dari 50% pada 2020.
Menurutnya, capaian ini tak lepas dari proses pembangunan smelter yang mulai efektif sejak 2020.
“Walau aturan hilirisasi sudah ada sejak 2009, implementasi nyata baru terlihat dari 2014, dan berjalan optimal mulai 2020,” jelasnya.
Ia juga membandingkan perkembangan industri nikel Indonesia dengan negara lain seperti Rusia, Kanada, dan Brasil.
“Saya pernah berkunjung ke beberapa tambang nikel luar negeri. Proses mereka lebih tua dan terstruktur, tapi Indonesia tak kalah dalam hal pengolahan,” ujarnya.
Namun, ia tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan. Dia menyebut, saat Indonesia mulai naik kelas dalam pembenahan teknologi dan inovasi, negara ini justru menghadapi tekanan dari sisi harga.
“Overproduksi global sekitar 500 ribu ton di 2023–2024 berasal dari Indonesia. Ini mempengaruhi harga nikel dunia yang semakin menurun,” katanya.
Di sisi lain, Meidy juga menyoroti stigma negatif terhadap nikel Indonesia yang kerap disebut sebagai dirty nickel oleh pihak asing.
“Kita ini pemain baru, jangan langsung disudutkan. Kalau ada masalah pencemaran, ayo verifikasi secara ilmiah. Jangan asal tuduh,” tegasnya.
Ia menambahkan, beberapa negara yang mengkritik justru masih menggunakan pembangkit listrik tenaga batubara untuk industri mereka, sementara Indonesia sudah menghentikan pembangunan PLTU batubara sejak 2023.
Terkait dominasi pengusaha asing di industri nikel Indonesia, Meidy mengakui banyak pelaku berasal dari China.
“Kebanyakan pemain industri NPI (nikel kelas 2) di Indonesia saat ini adalah entitas dari Tiongkok, tapi itu tetap hasil produksi dari Indonesia,” ujarnya.
Dia menekankan bahwa industri nikel nasional sedang memasuki tahap pembenahan menuju praktik yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Sekarang kita masuk ke step kedua: pembenahan. Supaya lebih profesional dan siap menyongsong standar ESG (Environmental, Social, Governance),” tutupnya.
Indonesia, menurut Meidy, bukan ancaman bagi pasar nikel dunia, tetapi mitra penting yang kini tengah bertumbuh dan belajar dari pengalaman negara lain. (Shiddiq)