NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah tengah mempertimbangkan usulan perubahan masa berlaku rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan dari tiga tahun menjadi satu tahun. Wacana itu muncul dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi XII DPR RI bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Terkait hal tersebut, Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tandjung, mengatakan, pembahasan lebih lanjut akan dilakukan untuk merespons usulan DPR.
“RKAB tiga tahun kembali menjadi satu tahun, nanti akan ada pembahasan lebih lanjut,” ujar Yuliot kepada wartawan usai salat Jumat di Gedung Sekretariat Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Sebelumnya, Menteri ESDM menyetujui usulan DPR tersebut dan mengatakan skema satu tahun lebih relevan dengan kebutuhan pengawasan dan dinamika industri saat ini.
“Kalau memang ini lebih efektif dan menjaga keberlanjutan sektor pertambangan, saya setuju kita kembali ke RKAB satu tahun,” tegas Bahlil.
Wakil Ketua Komisi XII DPR, Bambang Hariyadi, mengungkapkan kekhawatiran skema RKAB tiga tahun yang dinilai menimbulkan kelebihan produksi. Ia mencontohkan kelebihan produksi bauksit yang tak terserap industri dalam negeri.
“RKAB-nya sekitar 45 juta ton, sedangkan serapan industrinya hanya sekitar 20 juta ton. Terjadi produksi yang berlebih, ibaratnya tidak berimbang. Nah, akhirnya di sinilah harga menjadi tidak bernilai,” ujarnya.
Selain soal RKAB, DPR juga menyoroti lemahnya pengawasan penjualan mineral lewat jalur darat. Ditemukan indikasi manipulasi data produksi dan transaksi di kawasan industri yang memiliki tambang sendiri.
“Timbangan mati atau sedikit. Hanya ketika ada kunjungan DPR,” ungkapnya.
DPR pun mendesak pemerintah untuk segera menyusun regulasi resmi terkait mekanisme penjualan mineral secara darat dan menugaskan pengawas independen.
Menanggapi rencana perubahan regulasi RKAB, Kepala Biro Klik Kementerian ESDM, Sunindyo Suryo Herdadi, menekankan, aturan baru umumnya tidak berlaku di tengah tahun.
“Kalau ada perubahan peraturan di pertengahan tahun, biasanya aturan yang lama masih berlaku sampai akhir tahun. Aturan baru umumnya mulai berlaku awal tahun berikutnya (dalam hal ini 2026),” ujar Sunindyo.
APNI Sarankan Kaji Ulang
Sementara itu, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyampaikan keprihatinan dan menyarankan agar rencana perubahan tersebut dikaji ulang. APNI menilai kebijakan RKAB tiga tahun telah memberikan kepastian usaha, efisiensi waktu, serta mendukung perencanaan investasi jangka menengah.
“Jika masa RKAB kembali menjadi satu tahun, maka ribuan perusahaan harus mengajukan persetujuan setiap tahun. Bagaimana mengevaluasi ribuan dokumen secara tepat waktu tanpa menghambat investasi dan produksi?” kata Meidy dalam pernyataan resminya, Kamis (3/7/2025).
Saat ini, terdapat lebih dari 4.100 izin tambang aktif di Indonesia. Menurut APNI, perubahan ini berisiko memperpanjang rantai birokrasi dan menghambat iklim investasi.
APNI memberikan lima masukan strategis:
1. Pertahankan RKAB 3 Tahun, dengan penguatan pengawasan berbasis realisasi tahunan;
2. Hapus Revisi Volume Semester Akhir, diganti dengan sistem realisasi produksi tahunan;
3. Perkuat Implementasi Permen ESDM No. 10/2023, bukan mengubahnya;
4. Evaluasi Kepmen ESDM No. 84/2023, agar tidak mendorong kelebihan produksi; dan
5. Kebijakan Konsisten, agar pelaku usaha dapat menyusun rencana investasi yang terukur.
“APNI meyakini bahwa kebijakan yang konsisten, berbasis data, dan melibatkan stakeholders industri akan menjaga kepastian usaha, mendorong efisiensi, serta memastikan kontribusi optimal sektor tambang nikel bagi devisa dan hilirisasi nasional,” tegasnya.
Hingga kini, belum ada keputusan final terkait perubahan durasi RKAB. Pemerintah bersama DPR masih akan melanjutkan pembahasan sebelum mengeluarkan regulasi resmi. Meski bertujuan memperkuat pengawasan, wacana pengembalian RKAB menjadi satu tahun memunculkan perdebatan antara efektivitas pengawasan negara dan efisiensi usaha sektor tambang.
Keputusan akhir diharapkan dapat mencerminkan keseimbangan antara kepentingan pengawasan negara, kelangsungan investasi, dan keberlanjutan industri tambang nasional. (Shiddiq)